Artikel


  • Aris Widiyanto, S.Sos
  • 31 Desember 2016 - 13:12:26

IMPLEMENTASI JAMINAN KESEHATAN KHUSUS (JAMKESUS) SEBAGAI SALAH SATU UPAYA PEMENUHAN DAN PERLINDUNGAN

Abstrak

Pemda DIY telah mengupayakan pemenuhan dan perlindungan terhadap hak-hak penyandang disabilitas di sektor kesehatan di DIY. Upaya tersebut diawali dengan menetapkan sejumlah perangkat regulasi yang ditindaklanjuti melalui program/kegiatan yang diantaranya adalah pemberian Jaminan Kesehatan Khusus (Jamkesus) bagi penyandang disabilitas. Program yang efektif dilaksanakan mulai tahun 2015 dirasa belum dimanfaatkan sepenuhnya oleh penyandang disabilitas di DIY (kurang dari 10% dariseluruh  sasaran penerima) dikarenakan terdapat kendala dalam pelaksanaanya. Makalah ini memaparkan tentang pelaksanaan Jamkesus di DIY dan kendala-kendala yang dihadapi

Kata kunci : penyandang disabilitas, pemenuhan dan perlindungan hak, Jaminan Kesehatan Khusus (Jamkesus)

Pendahuluan

Salah satu agenda prioritas Nawa Cita Presiden Joko Widodo adalah “Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara”. Wujud perlindungan dan pemberian rasa aman pada seluruh warga negara melalui pembangunan inklusif yaitu pembangunan yang memberikan manfaat bagi semua masyarakat umum tidak terkecuali kelompok yang termarjinalkan dan tereksklusi. Prinsip utama pembangunan inklusif adalah adanya partisipasi, non diskriminasi, dan aksesibilitas.

Salah satu kelompok masyarakat rentan yang cenderung mengalami diskriminasi dalam mengakses hasil pembangunan adalah penyandang disabilitas. Diskriminasi dialami di berbagai sektor pembangunan seperti : akses sarana dan prasarana publik, kesehatan, pendidikan, politik, ketenagakerjaan dan sebagainya. Untuk itu perlu diupayakan upaya pengarusutamaan difabilitas di semua aspek kehidupan masyarakat, sehingga masyarakat bisa memahami dan berlaku dengan cara pandang yang sesuai dengan inklusivitas kaum disabilitas.                                                                                                                

Perhatian terhadap pemenuhan kebutuhan terhadap penyandang disabilitas di tingkat global ditandai dengan ditandatanganinya kesepakatan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas pada tanggal 13 Desember 2006 di Majelis Umum PBB. Dalam konvensi tersebut memuat kewajiban negara dalam merealisasikan hak-hak yang tercantum dalam konvensi melalui peraturan dan kebijakan afirmatif dengan berprinsip pada : 1) Penghormatan pada martabat yang melekat, otonomi individual, termasuk kebebasan untuk menentukan pilihan, dan kemerdekaan perseorangan; 2) Non diskriminasi; 3) Partisipasi penuh dan efektif dan keikutsertaan dalam masyarakat; 4) Penghormatan atas perbedaan dan penerimaan penyandang disabilitas sebagai bagian dari keragaman manusia dan kemanusiaan; 5) kesetaraan kesempatan; 6) aksesibilitas; 7) kesetaraan antara laki-laki dan perempuan; 8) Penghormatan atas kapasitas yang terus tumbuh dari penyandang disabilitas anak dan penghormatan hak penyandang disabilitas anak guna mempertahankan identitas mereka. Konvensi tersebut ditindaklanjuti oleh Pemerintah RI dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas).

Permasalahan yang sering mengemuka dalam mewujudkan pembangunan inklusif adalah kebijakan pembangunan yang diambil seringkali hanya memperhatikan tugas dan fungsi instansi serta prioritas pembangunan, belum memperhatikan sasaran kelompok yang terlibat dan manfaat yang diterima oleh kelompok sasaran tertentu. Upaya Pemda DIY dalam memberikan perlindungan dan memenuhi hak penyandang disabilitas diawali dengan menerbitkan Peraturan Daerah DIY Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Dalam perda tersebut diatur tentang pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas di DIY dalam berbagai bidang meliputi : pendidikan, ketenagakerjaan, kesehatan, sosial, seni dan budaya, olahraga, politik, hukum, penanggulangan bencana, tempat tinggal dan aksesibilitas.

Bidang kesehatan mendapatkan porsi tersendiri dalam batang tubuh Perda DIY Nomor 12 Tahun 2012. Pasal 41 menyebutkan bahwa Setiap  Penyandang  Disabilitas berhak mendapatkan layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan kondisi dan kebutuhan individu penyandang disabilitas. Layanan kesehatan meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif dengan penyediaan pelayanan kesehatan yang berprespektif disabilitas.

Salah satu yang diamanatkan adalah pelayanan jaminan kesehatan bagi penyandang disabilitas miskin dan rentan miskin yang disebut Jaminan Kesehatan Khusus (Jamkesus) yang diatur lebih lanjut melalui Peraturan Gubernur DIY Nomor 51 Tahun 2013 tentang Sistem Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Khusus bagi Penyandang Disabilitas. Tujuan  penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Khusus bagi penyandang disabilitas adalah memberikan jaminan pelayanan kesehatan yang  berkesinambungan, aksesibel, terjangkau,  dan alat bantu kesehatan yang menjadi kebutuhan penyandang disabilitas sesuai indikasi medis, secara terkoordinasi dan terintegrasi antara pemerintah  daerah dan pemerintah kabupaten/kota dalam pengembangan dan penyelenggaraan program jaminan kesehatan bagi penduduk Daerah Istimewa Yogyakarta.

Hal tersebut sejalan dengan Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dimana disebutkan bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak dan meningkatkan martabatnya menuju terwujudnya masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur.

Bertolak dari beberapa regulasi dan kebijakan yang telah ada, sejauh mana pelaksanaan Jamkesus DIY sebagai salah satu upaya pemenuhan dan perlindungan hak disabilitas? Adakah kendala dalam pelaksanaan Jamkesus di DIY?. Terkait dengan hal tersebut, tulisan ini mencoba memberikan gambaran terhadap pelaksanaan dan permasalahan pelaksanaan Jamkesus di DIY. 

 

Pembahasan

1. Situasi Penyandang Disabiltas di DIY dan Hak Atas Kesehatan bagi Penyandang Disabilitas

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, yang dimaksud dengan Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami  keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan  dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.

Penyandang disabilitas termasuk di dalam kategori Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Perkembangan penyandang disabilitas di DIY dari Tahun 2012 sampai dengan 2015 mengalami penurunan. Jumlah Penyandang Disabilitas di tahun 2015 sebanyak 25.050 orang, jumlah tersebut menurun bila dibandingkan dengan tahun 2014 yang sebanyak 26.947 orang. Perkembangan penyandang disabilitas dari tahun 2012 sampai dengan tahun 2015 disajikan dalam grafik berikut :

Persebaran penyandang disabilitas berdasarkan kabupaten/kota Tahun 2015 ditunjukkan pada tabel berikut :

Beberapa faktor yang mempengaruhi kecenderungan prevalensi disabilitas diantaranya disebabkan kondisi kesehatan, demografi, lingkungan, dan sebagainya. Di sisi kesehatan, meningkatnya prevalensi penyakit kronis dan cedera/kecelakaan merupakan faktor penting prevalensi disabilitas. Selain itu faktor lain seperti usia, kondisi lingkungan (sanitasi, perumahan, air bersih), bencana atau konflik juga sebagai faktor tidak langsung prevalensi disabilitas.

Selain faktor-faktor tersebut, kemiskinan secara tidak langsung berpengaruh pada prevalensi disabilitas di suatu negara. Hasil Survei Kesehatan Dunia (World Health Survey)  tahun  2002-2004 menunjukkan bahwa negara dengan pendapatan rendah memiliki tingkat prevalensi disabilitas yang lebih tinggi dibandingkan negara kaya. Begitu pula penduduk miskin dengan pendidikan yang rendah memiliki risiko menyandang disabilitas yang lebih tinggi daripada penduduk yang lebih makmur dan memiliki pendidikan tinggi. Penduduk miskin memiliki keterbatasan dalam mengakses layanan, keterbatasan menyediakan kebutuhan gizi yang memadai bagi keluarga khususnya anak-anak, dan keterbatasan dalam menyediakan lingkungan yang sehat.

Menjadi kewajiban pemerintah untuk mewujudkan perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas. Dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, hak kesehatan untuk Penyandang Disabilitas meliputi hak:

  1. memperoleh informasi dan komunikasi yang mudah diakses dalam pelayanan kesehatan;
  2. memperoleh kesamaan dan kesempatan akses atas sumber daya di bidang kesehatan;
  3. memperoleh kesamaan dan kesempatan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau;
  4. memperoleh kesamaan dan kesempatan secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya;
  5. memperoleh Alat Bantu Kesehatan berdasarkan kebutuhannya;
  6. memperoleh obat yang bermutu dengan efek samping yang rendah;
  7. memperoleh Pelindungan dari upaya percobaan medis; dan
  8. memperoleh Pelindungan dalam penelitian dan pengembangan kesehatan yang mengikutsertakan manusia sebagai subjek.

Keberhasilan implementasi perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas tidak hanya hanya tergantung telah diterbitkannya kebijakan atau regulasi yang terkait, tetapi faktor yang lebih penting adalah kepedulian dan komitmen terhadap pelayanan penyandang disabilitas dengan meniadakan pemikiran bahwa penyandang disabilitas adalah beban atau memposisikan penyandang disabilitas sebagai kelompok tak berdaya.

Upaya pemerintah dalam rangka memenuhi hak-hak kesehatan bagi penyandang disabilitas diimplementasikan melalui program/kegiatan yang memudahkan penyandang disabilitas mengakses layanan kesehatan mulai dari sarana prasarana dan tenaga  sampai dengan sistem yang memperhatikan kebutuhan penyandang disabilitas seperti jaminan kesehatan khusus bagi penyandang disabilitas.

2. Pelaksanaan Jamkesus di DIY

Tujuan dari penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah untuk memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya, termasuk di dalamnya kelompok masyarakat rentan sosial ekonomi. Hal ini telah ditegaskan melalui UU Nomor 40 tahun 2004 dimana disebutkan bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak dan meningkatkan martabatnya menuju terwujudnya masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur. Bentuk pemenuhan kebutuhan dasar hidup yang layak salah satunya adalah pelayanan jaminan kesehatan. Pelayanan jaminan kesehatan akan mengurangi beban ekonomi yang dikeluarkan apabila berobat dan mengakses pelayanan kesehatan serta hilangnya pendapatan akibat tidak bekerja terutama bagi masyarakat rentan sosial ekonomi.

Awal pelaksanaan Jamkesus dilandasi oleh Peraturan Gubernur Nomor 51 Tahun 2013 tentang Sistem Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Khusus bagi Penyandang Disabilitas. Dalam Pergub tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Jaminan Kesehatan Khusus bagi  penyandang disabilitas yang selanjutnya disebut Jamkesus Disabilitas adalah jaminan kesehatan bagi penyandang disabilitas dalam rangka sinkronisasi, koordinasi dan sinergi guna menuju integrasi program jaminan kesehatan semesta bagi masyarakat di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan tujuan memberikan jaminan pelayanan kesehatan yang  berkesinambungan, aksesibel, terjangkau, dan alat bantu kesehatan yang menjadi kebutuhan penyandang disabilitas sesuai indikasi medis.

Peserta Jamkesus adalah penyandang disabilitas yang miskin dan rentan miskin yang belum memiliki jaminan kesehatan ditetapkan melalui Keputusan Gubernur.  Sedangkan paket manfaat yang diberikan berupa pelayanan kesehatan dan alat bantu kesehatan meliputi : penyuluhan kesehatan, imunisasi, pelayanan keluarga berencana, rawat jalan, rawat inap di kelas III rumah sakit, pemberian  alat bantu dan  obat-obatan sesuai dengan kebutuhan, pelayanan gawat darurat serta tindakan medis lainnya.

Walaupun Pergub Jamkesus sudah diterbitkan sejak Bulan Agustus tahun 2013, tetapi pelaksanaan Jamkesus baru efektif di tahun 2015. Keterlambatan pelaksanaan Jamkesus dikarenakan kepesertaan Jamkesus baru ditetapkan pada tanggal 30 Oktober 2014 melalui Keputusan Gubernur Nomor 259/KEP/2014 Tahun 2014. Selain itu, juga diperlukan persiapan-persiapan baik yang sifatnya administratif maupun layanan kesehatan itu sendiri.

Kepesertaan Jamkesus tahun 2015 dan 2016 sebanyak 25.170 orang. Dari jumlah tersebut, tercatat tidak sampai 10 % penyandang disabilitas DIY yang mengakses layanan Jamkesus. Tahun 2015, layanan Jamkesus diakses oleh 1.617 orang penyandang disabilitas sedangkan di tahun 2016 sampai dengan bulan September layanan Jamkesus diakses oleh 1.150 orang penyandang disabilitas. Masih rendahnya penyandang disabilitas yang mengakses layanan Jamkesus dikarenakan dari beberapa aspek antara lain terkait dengan validitas kepesertaan, pemahaman penyandang disabilitas terhadap pelayanan Jamkesus, dan penyediaan sarana dan tenaga kesehatan yang ramah bagi penyandang disabilitas.

a.    Validitas Data Kepesertaan

Validitas data kepesertaan merupakan permasalahan utama dalam pelaksanaan Jamkesus. Hal ini yang menyebabkan penyandang disabilitas yang mengakses Jamkesus selama ini masih rendah (di bawah 10%). Di lapangan masih terdapat data yang tidak sesuai (alamat tidak sesuai, sudah meninggal, memiliki kepesertaan ganda), selain itu di lapangan juga masih terdapat penyandang disabilitas yang tidak terdapat dalam database kepesertaan Jamkesus.

Dalam melakukan verifikasi, petugas belum sepenuhnya memiliki pemahaman yang sama terkait kondisi peserta Jamkesus baik dari status kedisabilitasan maupun status kesejahteraan. Hal ini berpengaruh terhadap akurasi data dan pemberian layanan.

Untuk meminimalisir ketidaksesuaian data peserta Jamkesus dilakukan proses verifikasi verifikasi data. Berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 51 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan Khusus (Jamkesus), kewenangan pendataan penyandang disabilitas ada di instansi pemerintah daerah yang mempunyai tugas pokok dan fungsi di bidang sosial dan dievaluasi berkala setiap 1 (satu) tahun oleh instansi pemerintah daerah dan kab/kota yang mempunyai tugas pokok dan fungsi di bidang sosial. Selama ini verifikasi data Jamkesus di lapangan dilakukan oleh petugas Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK).

b.   Program Jamkesus belum sepenuhnya dipahami peserta

Bagi peserta Jamkesus, informasi aturan-aturan operasional terkait mekanisme klaim, mekanisme rujukan, dan paket manfaat masih minim. Bahkan masih terdapat peserta yang belum mengetahui bahwa dirinya menjadi peserta Jamkesus. Idealnya aturan-aturan operasional tidak terlalu birokratis agar tidak menyulitkan peserta dalam mengakses layanan Jamkesus.

Sebagai sebuah program baru, Jamkesus belum populer di kalangan penyandang disabilitas, untuk itu perlu dilakukan sosialisasi baik kepada peserta, masyarakat, maupun pemberi layanan (fasilitas kesehatan).

c.    Penyediaan layanan kesehatan belum seluruhnya berprespektif disabilitas

Salah satu hambatan/keterbatasan penyandang disabilitas adalah memanfaatkan fasilitas umum sedangkan penyediaan fasilitas umum mulai dari bangunan gedung sampai dengan fasilitas transportasi yang aksesibel masih terbatas.

Menjadi kewajiban pemerintah untuk menyediakan fasilitas umum yang aksesibel bagi seluruh masyarakat. Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan, asas fasilitas yang aksesibel meliputi : 1) keselamatan, yaitu setiap bangunan yang bersifat dalam suatu lingkungan terbangun, harus memperhatikan keselamatan bagi semua orang; 2) kemudahan, yaitu setiap orang dapat mencapai tempat atau bangunan yang bersifat umum di suatu lingkungan; 3) kegunaan,  yaitu setiap orang harus dapat mempergunakan semua tempat atau bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan, 4) kemandirian, yaitu setiap orang harus bisa mencapai, masuk dan mempergunakan semua tempat atau bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan dengan tanpa membutuhkan bantuan orang lain.

Dari sisi tenaga kesehatan, masih terdapat kendala komunikasi dalam memberikan layanan kepada penyandang disabilitas. Komunikasi yang digunakan masih bersifat umum sehingga untuk penyandang disabilitas tertentu. Padahal untuk berkomunikasi dengan penyandang disabilitas tertentu juga dibutuhkan metode tertentu.

Selain dari kualitas, diperlukan juga peningkatan layanan kesehatan Jamkesus dengan pengembangan layanan kesehatan melalui pengembangan kerjasama fasilitas kesehatan baik di tingkat dasar maupun rujukan.

Penutup

Pemda DIY telah mengupayakan pemenuhan dan perlindungan terhadap penyandang disabilitas di sektor kesehatan di DIY. Upaya tersebut diawali dengan menetapkan perangkat regulasi. Regulasi tersebut ditindaklanjuti dengan pelaksanaan Jaminan Kesehatan Khusus (Jamkesus) bagi penyandang disabilitas di DIY.

Namun dalam pelaksanaanya masih terdapat beberapa kendala yang menyebabkan program ini belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Kendala yang dihadapi antara lain dalam hal data kepesertaan yang belum valid, program yang belum dipahami sepenuhnya oleh peserta, dan kesiapan fasilitas kesehatan dalam memberikan layanan. Untuk itu, penulis merekomendasikan beberapa hal untuk perbaikan program Jamkesus berikutnya :

  1. SKPD yang memiliki ketugasan dalam pendataan kepesertaan Jamkesus agar melakukan pendataan dan verifikasi data secara berkala dan menyeluruh. Pelaksanaan pendataan dan verifikasi dilakukan berjenjang dari tingkat bawah oleh petugas yang berkoordinasi dengan pihak terkait seperti pemerintah di tingkat bawah, organisasi penyandang disabilitas, LSM pendamping disabilitas, dan tokoh masyarakat.Untuk mendapatkan data kepesertaan yang lebih akurat, sebelumnya perlu dirumuskan parameter-parameter pendataan terkait kedisabilitasan dan status kesejahteraan penyandang disabilitas. Selain itu petugas perlu dibekali dengan kemampuan teknis pendataan melalui bimtek dan pelatihan.
  1. Sosialisasi layanan Jamkesus perlu ditingkatkan untuk meningkatkan pemahaman kepada peserta dan mitra pemberi layanan terkait hak, kewajiban, dan tanggungjawab pelayanan Jamkesus. Sosialisasi program Jamkesus akan lebih efektif bila melibatkan stakeholder terkait seperti LSM pendamping, organisasi penyandang disabilitas, dan tokoh masyarakat. Sosialisasi dan pelatihan juga ditujukan kepada masyarakat untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran dalam deteksi dan intervensi dini, pendampingan, serta sistem rujukan utamanya di lingkup masyarakat terkecil (keluarga, RT/RW, dusun).
  2. UPTD Bapeljamkesos telah melakukan terobosan dalam kemudahan layanan dan pemangkasan birokrasi berupa kegiatan Jamkesus Terpadu dimana peserta Jamkesus mendapatkan layanan Jamkesus satu atap secara komprehensif dari pemeriksaan kesehatan umum sampai dengan penilaian disabilitas terkait dengan bantuan alat bantu. Namun demikian Jamkesus Terpadu tidak dilaksanakan setiap saat hanya di beberapa lokasi di setiap kabupaten/kota. Untuk itu perlu dilakukan perbaikan dari sisi layanan kesehatan diantaranya pengembangan kerjasama dengan mitra penyediaan layanan, perbaikan sistem layanan, dan menyederhanakan proses birokrasi layanan.

Dari sisi penyediaan sarana kesehatan diharapkan memenuhi persyaratan aksesibilitas yang memudahkan bagi penyandang disabilitas. Selain itu diperlukan peningkatan kapasitas tenaga kesehatan dalam memberikan layanan yang responsif disabilitas saat berinteraksi dengan penyandang disabilitas.

 

Daftar Pustaka

https://solider.or.id/2013/12/13/analisis-kebijakan-pergub-diy-nomor-51-tahun-2013-tentang-jamkessus, diakses 6 Oktober 2016

http://www.harianjogja.com/baca/2015/12/11/pemanfaatan-jemkesus-untuk-difabel-belum-optimal-669637, diakses 6 Oktober 2016

_____.2015. Pedoman Perencanaan dan Penganggaran yang Berpihak Kepada Penyandang Disabilitas, Direktorat Perlindungan dan Kesejahteraan Masyarakat Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas

_____. 2006. Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 61/106 Tahun 2006 tentang Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas

Peraturan Daerah DIY Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas

Peraturan Gubernur DIY Nomor 51 Tahun 2013 tentang Sistem Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Khusus bagi Penyandang Disabilitas

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan

Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas

Aris Widiyanto, S.Sos

Jabatan Perencana Pertama

Kompleks Kepatihan, Danurejan, Yogyakarta
(0274)589583, (0274)557418
(0274)562811
(0274)586712
http://bappeda.jogjaprov.go.id
bappeda@jogjaprov.go.id

Kontak Kami

Silahkan Kirim Tanggapan Anda Mengenai Website Ini Atau Sistem Kami Saat Ini. Tanggapan Anda Sangat Membantu Untuk Meningkatkan Pelayanan Kami Kepada Masyarakat.Apabila terdapat kendala dalam menemukan informasi yang dicari dapat mengunjungi halaman FAQ