Artikel


  • Hernawan Nugroho, SE, MT.
  • 31 Desember 2016 - 13:35:11

STRATEGI PENYELENGGARAAN INFRASTRUKTUR BIDANG PU UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS LINGKUNGAN

Latar Belakang

Pembangunan adalah usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan atau perubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara, dan pemerintah menuju modernitas dalam rangka pembangunan bangsa (nation building) (SP Siagian, 1973). Dalam setiap aktivitas pembangunan akan selalu ada trade-off. Di satu sisi pembangunan mewujudkan pertumbuhan ekonomi, namun di sisi lain pembangunan bisa menurunkan kualitas lingkungan. Hal ini tentunya menjadi catatan permasalahan dalam pelaksanaan pembangunan. Kerusakan lingkungan yang terjadi dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu pencemaran air dan tanah, bertambahnya konsentrasi gas rumah kaca (gas karbon dioksida, gas metan, dll), perubahan fungsi lahan, pengalihan DAS, dan sebagainya. Kerusakan tersebut tidak selalu menimbulkan dampak yang segera, namun akumulasinya bisa menyebabkan ketidakseimbangan ekosistem, seperti terjadinya bencana alam  dan perubahan iklim (climate change). Jika hal ini dibiarkan terus-menerus, maka kualitas lingkungan yang ada akan mengalami degradasi dan berdampak buruk bagi generasi selanjutnya.

Pelaksanaan pembangunan infrastruktur yang dijalankan di Indonesia, umumnya  mengacu pada konsep pembangunan untuk pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan kurang memperhatikan aspek lingkungan. Padahal pembangunan ekonomi sangat tergantung pada keberlanjutan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Sebagai contoh dampak bencana banjir menyebabkan terhentinya aktivitas perekonomian yang menyebabkan kerugian ekonomi yang besar. Pertimbangan faktor lingkungan  telah diatur sejak lama seperti dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945 maupun UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta juga ditindaklanjuti dalam RPJP 2005-2024, dimana disebutkan bahwa salah satu misi pembangunan adalah mewujudkan Indonesia yang asri dan lestari, dan pembangunan infrastruktur akan mengarah pada konsep peningkatan pelayanan bagi peningkatan kualitas lingkungan di masa depan.

Infrastruktur Pekerjaan Umum (Sumber Daya Air, Bina Marga, Cipta Karya) mempunyai peran strategis dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat, memberi kontribusi dalam pertumbuhan ekonomi, serta bagi peningkatan kualitas lingkungan hidup. Infrastruktur seperti prasarana air bersih, sanitasi dan drainase akan meningkatkan kualitas lingkungan masyarakat. Demikian juga penyediaan permukiman yang layak huni serta prasarana pengendalian banjir dan prasarana jalan yang terpelihara baik akan meningkatkan kualitas lingkungan. Dalam proses pembangunan infrastruktur hendaknya memperhatikan atau tidak rusaknya lingkungan; misalnya pembangunan jalan yang mengubah fungsi lahan tanam/resapan air menjadi beton dan pembangunan waduk/bendungan yang mengubah alur sungai alami, tipe TPA (Tempat Pembuangan Akhir) sampah yang open dumping dan dapat mencemari air tanah dan lingkungan sekitar. Hal ini mesti diupayakan penanganan dampaknya. Sementara itu, terkait dengan fenomena perubahan iklim, infrastruktur juga berperan dalam upaya mitigasi dan adaptasi terhadap dampak yang ditimbulkan oleh perubahan iklim (climate change) terhadap lingkungan seperti banjir, kekeringan, longsor, dan lain-lain.

Secara rinci identifikasi masalah awal yang digunakan, terkait dengan pembangunan infrastruktur bidang Pekerjaan Umum yang diperkirakan dapat menyebabkan kerusakan pada lingkungan hidup, tersaji dalam diagram fishbone (tulang ikan) dibawah ini.

Dampak positif dari pembangunan infrastruktur antara lain adalah akan meningkatkan kesejahteraan rakyat dan pendapatan daerah tersebut. Kebutuhan akan pembangunan infrastruktur berbanding lurus dengan peningkatan jumlah penduduk/masyarakat suatu kota atau wilayah, sehingga semakin bertambahnya penduduk pada kota/wilayah tersebut maka kebutuhan akan ketersediaan infrastruktur juga akan meningkat. Infrastruktur merupakan pendukung utama dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Suatu infrastruktur dapat didefinisikan sebagai fasilitas-fasilitas atau struktur-struktur dasar, peralatan-peralatan, instalasi-instalasi yang dibangun dan yang dibutuhkan untuk berfungsinya sistem sosial dan sistem ekonomi masyarakat.

 

Bagaikan dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan, selain mempunyai dampak positif, ternyata pembangunan infrastruktur juga mempunyai dampak negatif. Pembangunan infrastruktur juga

berdampak negatif bagi kelestarian alam, diantaranya dengan berkurangnya sumberdaya alam akibat eksploitasi berlebihan, pencemaran udara akibat polusi industri dan pembangunan infrastruktur perekonomian yang identik dengan perusakan alam. Sehingga hal tersebut menimbulkan suatu pernyataan bahwa pembangunan infrastruktur selalu identik dengan perusakan alam.

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa pembangunan infrastruktur yang dilakukan untuk mendukung pembangunan ekonomi yang semata-mata ditujukan untuk memperoleh keuntungan tanpa memperhatikan keberlangsungan alam dan lingkungan, akan membawa dampak negatif tidak hanya bagi alam tetapi juga bagi masyarakat. Salah satu dampak negatif yang ditimbulkan adalah berkurangnya sumberdaya alam, pencemaran udara akibat polusi industri dan pembangunan infrastruktur yang identik dengan perusakan alam. Namun, hal tersebut dapat dicegah dengan menerapkan program pelaksanaan pembangunan ekonomi yang berwawasan lingkungan

Tujuan dari kegiatan ini adalah melakukan kajian kebijakan penyelenggaraan infrastruktur Pekerjaan Umum dalam rangka peningkatan kualitas lingkungan sehingga dapat menjadi bahan rumusan kebijakan dan strategi penyelenggaraan infrastruktur Pekerjaan Umum (yang mencakup bidang sumber daya air, jalan dan jembatan, keciptakaryaan dan penataan ruang) dalam rangka peningkatan kualitas lingkungan.

Konsep Pembangunan Berkelanjutan

Konsep Pembangunan Berkelanjutan muncul pada Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia (UN Conference on the Human Environment) pada tahun 1972 yang dikenal pula dengan nama The Stockholm Conference. Dan konsep ini selanjutnya didukung oleh Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan (UN Conference on Environment and Development) di Rio de Janeiro pada tahun 1992 yang menyatukan para kepala negara dan pejabat pemerintah dari seluruh dunia bersama dengan utusan badan-badan PBB, Organisasi Internasional dan utusan lainnya dari berbagai organisasi non pemerintah. Konferensi yang dihadiri oleh 179 negara tersebut secara jelas menyatakan bahwa pembangunan nasional suatu negara tidak lagi bisa memisahkan antara pengelolaan lingkungan dengan pembangunan sosial ekonomi sebagai bidang-bidang yang terpisah.

Pada tahun 1997 juga, Indonesia telah menyusun Agenda 21 – Indonesia yang merupakan strategi nasional untuk Pembangunan Berkelanjutan. Tujuan dari Agenda 21- Indonesia adalah dalam rangka mewujudkan pembangunan 

berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, maka integrasi pembangunan ekonomi, sosial dan lingkungan merupakan syarat yang harus dianut oleh semua sektor pembangunan terkait.

Kementerian PU selaku stakeholder menyadari bahwa pengembangan strategi dan program tidak bisa dilakukan berdasarkan skenario business as usual yang kerap menemui kesulitan dalam menjaga keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan konservasi lingkungan secara simultan. Namun sebaliknya, Kementerian PU berkomitmen untuk menerapkan program-program pembangunan untuk menghindari terjadinya bencana yang terkait dengan perubahan iklim melalui program mitigasi dan adaptasi untuk masa depan Indonesia yang lebih sejahtera, aman, nyaman dan berkelanjutan.

Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Filosofi dasar dari UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup diatas adalah:

Tujuan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah mencapai pembangunan berkelanjutan;

Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menjamin harmoni antara manusia dengan lingkungan hidup, termasuk mahluk hidup didalamnya.

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sesuai dengan nomenklatur undang-undang tersebut adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan dan penegakkan hukum.

Kebijakan Pembangunan Bidang Pekerjaan Umum

Rumusan pembangunan ekonomi di Indonesia, secara prinsip memuat 3 (tiga) jalur strategi, yakni : peningkatan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas (pro growth) dengan cara mengutamakan ekspor dan investasi; peningkatan penciptaan lapangan kerja (pro job) dengan menggerakkan sektor riil dan pengentasan kemiskinan (pro poor) melalui revitalisasi sektor pertanian, kehutanan, kelautan dan ekonomi perdesaan. 

Sesuai dengan Rencana Strategis Kementerian Pekerjaan Umum Tahun 2015 – 2019, arah kebijakan umum pembangunan infrastruktur bidang pekerjaan umum adalah :

  1. Arah kebijakan pengembangan Kawasan Strategis adalah percepatan pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi wilayah dengan memaksimalkan keuntungan aglomerasi, menggali potensi dan keunggulan daerah dan peningkatan efisiensi dalam penyediaan infrastruktur;
  2. Arah kebijakan pengembangan Kawasan Perkotaan dan Perdesaan. Pengembangan Kawasan Perkotaan difokuskan untuk membangun kota berkelanjutan dan berdaya saing menuju masyarakat kota yang sejahtera; pengembangan perdesaan diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar maupun pembangunan sarana dan prasarana desa;
  3. Arah kebijakan peningkatan keterkaitan Perkotaan dan Perdesaan yang bertujuan untuk mengurangi kesenjangan antara perkotaan dan perdesaan dengan menghubungkan keterkaitan fungsional antara pasar dan kawasan produksi;
  4. Arah kebijakan pengembangan Daerah Tertinggal dan Kawasan Perbatasan yang difokuskan pada upaya pemenuhan kebutuhan dasar dan kebutuhan pelayanan dasar publik, serta pengembangan perekonomian masyarakat yang didukung oleh sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan infrastruktur penunjang konektivitas antara daerah tertinggal dan kawasan strategis;
  5. Arah kebijakan penanggulangan bencana yang akan dicapai melalui strategi : internalisasi pengurangan risiko bencana; penurunan tingkat kerentanan terhadap bencana; dan peningkatan kapasitas penyelenggaraan penanggulangan bencana.
  6. Arah kebijakan pengembangan tata ruang wilayah nasional; dan
  7. Arah kebijakan dan strategi tata kelola Pemerintahan dan Otonomi Daerah

Implementasi kebijakan pembangunan infrastruktur Pekerjaan Umum yang berwawasan lingkungan tersebut sepenuhnya harus didukung oleh pengembangan dan penelitian teknologi terapan yang berwawasan lingkungan, sehingga prinsip-prinsip dasar 3 R : Reduce (mengurangi); Reuse (penggunaan kembali) dan Recycling (mendaur ulang) dalam setiap pelaksanaan pembangunan infrastruktur pekerjaan umum dan permukiman harus menjadi komitmen seluruh pelaku pembangunan bidang ke-PU-an.

Strategi Kebijakan Pembangunan Infrastruktur Bidang Pekerjaan Umum

Untuk mendapatakan suatu kualitas lingkungan hidup yang lebih baik, terutama terkait dengan pembangunan infrastruktur bidang ke-PU-an, , maka diperlukan beberapa  strategi kebijakan sehingga pelaksanaan pembangunan infrastruktur bidang pekerjaan umum yang dapat meningkatkan kualitas lingkungan.

1. Strategi Penataan Ruang Yang Lebih Berkualitas

Konsep penataan ruang yang berwawasan lingkungan bertujuan untuk menciptakan ruang yang berkualitas dan memberikan kemanfaatan bagi masyarakat maupun sektoral. Konsep tersebut dapat diskemakan seperti pada gambar berikut,

Penataan ruang berwawasan lingkungan perlu memperhatikan 2 (dua) dimensi penting, yaitu: 1) skala kewilayahan, dan 2) skala komunitas. Skala kewilayahan berkaitan dengan pemanfaatan ruang menurut daya dukung dan daya tampung. Mengingat bahwa, perkembangan jumlah penduduk akan membawa konsekuensi terhadap peningkatan kebutuhan akan sumber daya alam dan energi untuk menopang keberlanjutan kehidupan. Untuk itu, penataan ruang perlu memperhatikan kapasitas daya dukung dan daya tampung lahan, apakah ruang yang direncanakan mampu untuk mendukung keberlanjutan dari kehidupan manusia dan makhluk hidup yang lain dalam jangka panjang. Kemampuan daya dukung lahan akan direpresentasikan dari sumber-sumber daya alam yang akan dimanfaatkan untuk menopang kehidupan makhluk hidup yang tinggal di atas lahan tersebut.

Di samping itu, dari sisi dimensi ruang, apakah ruang yang direncanakan tersebut mampu untuk memberikan ruang gerak/mobilitas manusia (termasuk barang dan jasa) yang hidup di atas lahan tersebut selama beberapa tahun perencanaan. Hal ini penting untuk memastikan bahwa seluruh aktivitas yang membutuhkan mobilitas yang akan berlangsung di atas lahan tersebut dalam jangka waktu lama, dapat terakomodir.    

Terkait dengan dimensi kedua, yaitu skala komunitas, penataan ruang perlu memperhatikan karakteristik sosial-budaya masyarakat yang akan menempati lahan tersebut. Karakter masyarakat dapat mempengaruhi perkembangan guna lahan yang di tempatinya. Misalnya, masyarakat agraris akan membutuhkan ruang untuk aktivitas pertaniannya, sedangkan masyarakat modern akan membutuhkan ruang untuk mendukung aktivitas yang lebih bersifat pada industri dan jasa-jasa. Oleh karena itu, dalam penataan ruang perlu memperhatikan sifat komunitas yang akan ditempatkan dalam lahan tersebut, yang secara umum dapat dibedakan atas komunitas urban (perkotaan) dan komunitas rural (perdesaan).

Dengan memperhatikan dua dimensi penting di atas (skala kewilayahan dan skala komunitas), penataan ruang diharapkan dapat mewujudkan tatanan kehidupan yang seimbang dan harmonis, sehingga dengan demikian penataan ruang yang berwawasan lingkungan diharapkan mampu mendukung terealisasinya goal pembangunan nasional, yaitu pembangunan yang pro-poor, pro-growth, dan pro-environment.

2. Penguatan Kapasitas Instansi Di Daerah Dalam Penyelenggaraan Pembangunan Infrastruktur Bidang PU

Strategi kedua adalah penguatan kapasitas instansi di daerah dalam penyelenggaraan infrastruktur bidang PU. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa setiap daerah di Indonesia memiliki pemahaman/kompetensi yang memadai untuk mendukung terciptanya pembangunan infrastruktur yang berorientasi pada peningkatan kualitas lingkungan. Pemahaman atau kompetensi yang dibutuhkan tersebut sangat terkait dengan kualitas sumber daya manusia sebagai aparat pemerintah yang memiliki tugas dan kewenangan dalam menciptakan pembangunan infrastruktur PU yang berwawasan lingkungan. Oleh karena itu penting kiranya memberikan pemahaman yang benar mengenai proses pembangunan infrastruktur PU dari tahap perencanaan hingga operasional.

Dengan dasar kualitas SDM yang memadai dalam penyelenggaraan infrastruktur di bidang PU untuk meningkatkan kualitas lingkungan, maka diharapkan seluruh stakeholders di daerah memahami upaya-upaya untuk mewujudkan hal tersebut, antara lain adalah pemahaman di dalam mengimplementasikan mekanisme insentif dan disinsentif dalam penyelenggaraan infrastruktur. Mekanisme ini memiliki kaitan erat dengan proses perencanan penataan ruang, sebagaimana telah diamanatkan dalam UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dimana dijelaskan bahwa dalam rangka pelaksanaan pemanfaatan ruang agar sesuai dengan rencana tata ruang wilayah, maka Pemerintah dan pemerintah daerah dapat memberikan insentif dan/atau disinsentif.

Kebijakan insentif merupakan perangkat atau  upaya untuk memberikan  imbalan atau kompensasi terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang, misalnya berupa:

  1. keringanan pajak, pemberian kompensasi, subsidi silang, imbalan, sewa ruang, dan urun saham;
  2. pembangunan serta pengadaan infrastruktur;
  3. kemudahan prosedur perizinan; dan/atau
  4. pemberian penghargaan kepada masyarakat, swasta dan/atau pemerintah daerah.

Sedangkan kebijakan disinsentif merupakan perangkat untuk mencegah, membatasi pertumbuhan, atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang, misalnya berupa :

a. pengenaan pajak yang tinggi yang disesuaikan dengan besarnya biaya yang dibutuhkan untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan akibat pemanfaatan ruang; dan/atau

b. pembatasan penyediaan infrastruktur, pengenaan kompensasi, dan penalti.

Dalam kaitannya dengan pembangunan infrastruktur di bidang PU, maka kebijakan insentif dan disinsentif sebagaimana dijelaskan di atas ditujukan untuk menciptakan lingkungan yang lebih berkualitas, atau memberikan kemanfaatan bagi masyarakat secara luas. Di samping itu, kebijakan insentif dan disinsentif ini merupakan wujud konkret penegakan fungsi good governance dalam penyelenggaraan infrastruktur bidang PU yang berwawasan lingkungan.

Masalah pokok yang seringkali menjadi kendala bagi pemerintah daerah, yaitu mekanisme pengawasan dan pengendalian terhadap proses pembangunan di segala sektor. Masih lemahnya pengawasan di daerah menjadi salah satu penyebab terjadinya pergeseran dalam peruntukkan ruang. Kasus-kasus berkembangnya pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan peruntukkannya, merupakan bukti dari lemahnya mekanisme pengawasan di daerah, terutama dalam hal pemberian ijin pembangunan fisik infrastruktur. Untuk itu, mekanisme pengawasan perlu diperketat dan ditingkatkan.

Di samping itu, dalam rangka proses penyelesaian/legalisasi perencanaan tata ruang wilayah (RTRW) baik di setiap provinsi maupun kabupaten/kota dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) yang direncanakan dapat diwujudkan pada tahun 2011, maka strategi yang kiranya dapat dilakukan oleh Pemerintah adalah dukungan finansial untuk menuju ke proses tersebut. Dukungan finansial tersebut dapat ditempuh melalui intervensi fiskal berupa Dana Alokasi Khusus, mengingat hal ini dapat dipandang sebagai salah satu program Pemerintah yang perlu mendapat prioritas. Dengan demikian, proses penyelesaian legalisasi Perda Tata Ruang di tiap Wilayah Provinsi atau kabupaten/kota dapat terwujud.

Pelibatan masyarakat juga menjadi bagian penting dalam mekanisme pengawasan. Strategi ini dapat menjadi salah satu strategi yang efektif untuk mendukung upaya mewujudkan lingkungan yang berkualitas. Masyarakat perlu diberikan ruang atau saluran untuk menyampaikan aspirasi dan inisiatifnya guna mendukung langkah-langkah pemerintah dalam menciptakan lingkungan yang berkualitas.

3. Penguatan Kerjasama Antarsektor Yang Terkait

Kerjasama berbagai komponen/stakeholders pembangunan diperlukan untuk mewujudkan sinergisme dalam implementasinya. Prinsip kerjasama yang dibangun adalah kerjasama yang saling memberikan manfaat/keuntungan. Manfaat yang dimaksudkan dalam hal ini adalah terciptanya kualitas lingkungan hidup melalui pembangunan infrastruktur di bidang PU. Untuk itu, kerjasama antara pihak-pihak yang terkait dengan penyelenggaraan infrastruktur bidang PU (Kementerian PU) dan pengelolaan lingkungan hidup (Kementerian Lingkungan Hidup), serta pemerintah daerah (Kementerian Dalam Negeri), diharapkan dapat mendukung upaya untuk mewujudkan pembangunan infrastruktur bidang PU di daerah yang mampu menciptakan lingkungan hidup yang berkualitas.

Adapun tugas dari masing-masing stakeholders tersebut adalah:

a. Kementerian Pekerjaan Umum memiliki tugas perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang pekerjaan umum

b. Kementerian Lingkungan Hidup memiliki tugas merumuskan kebijakan dan koordinasi di bidang lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan

c. Kementerian Dalam Negeri memiliki tugas menyelenggarakan sebagian tugas pemerintahan di bidang urusan dalam negeri.

Bentuk kerjasama antarstakeholders tersebut bilamana perlu diperkuat melalui kesepakatan bersama yang dituangkan dalam Surat Keputusan Bersama (SKB). SKB ini hendaknya mampu mendorong pemerintah daerah melalui instansi yang terkait dalam untuk mengimplementasikan kebijakan-kebijakan pemerintah dalam pembangunan infrastruktur bidang PU yang berwawasan lingkungan. Kebijakan penyelenggaraan infrastruktur bidang PU di daerah harus memperhatikan: (1) konsep pembangunan yang berwawasan lingkungan; (2) karakteristik dan perkembangan wilayah/daerah; dan (3) kemampuan atau kapasitas daerah untuk menjalankan kebijakan tersebut.

4. Penguatan Kapasitas Pendanaan Untuk Mendukung Upaya Peningkatan Kualitas Lingkungan

Menurut UU no. 32 tahun 2009 dinyatakan secara tegas bahwa, evaluasi secara holistik terhadap dampak yang diperkirakan akan terjadi, dimana hal tersebut  telah dikaji dalam dokumen AMDAL, belum dapat berjalan secara efektif. Kelemahannya adalah dalam hal pengawasan. Di sisi lain, dokumen AMDAL mewajibkan adanya kegiatan rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup atau yang disebut RKL dan RPL. Kegiatan ini belum sepenuhnya dapat dijalankan mengingat keterbatasan sumber daya (SDM dan finansial). Kasus-kasus yang terjadi di daerah mencerminkan masih minimnya dukungan sumber daya yang dimiliki untuk dapat menjalankan kegiatan RKL dan RPL tersebut.

Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah bahwa di dalam UU 32 tahun 2009 dinyatakan bahwa setiap Pemegang izin lingkungan yang diwajibkan untuk memiliki AMDAL maupun UKL/UPL, wajib menyediakan dana penjaminan untuk pemulihan fungsi lingkungan hidup, bilamana pada suatu ketika terjadi adanya gangguan terhadap fungsi-fungsi lingkungan, seperti pencemaran, polusi, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, hal ini menjadi cukup krusial bagi daerah-daerah yang tidak memiliki kapasitas dalam hal pendanaan untuk menjamin upaya pemulihan fungsi lingkungan hidup bagi proyek-proyek pembangunan fisik yang berskala besar yang jika tidak dilakukan pengawasan secara ketat akan menimbulkan dampak negatif dan dapat mengganggu fungsi-fungsi lingkungan hidup.  

Dalam kaitan ini, diperlukan mekanisme pendanaan yang jelas, yang dapat diakomodir oleh seluruh pemerintah daerah di Indonesia guna menjamin pemulihan fungsi lingkungan hidup manakala terjadi hal-hal diluar perencanaan dan tidak terakomodasi di dalam dokumen AMDAL.

 

Selain itu, rekomendasi dari dokumen lingkungan terutama dokumen AMDAL yang mewajibkan pelaporan rutin setiap 6 bulan untuk kegiatan RKL/RPL (rencana kelola lingkungan dan rencana pantau lingkungan) membutuhkan dana yang rutin. Dari hasil survei, diketahui bahwa untuk pembangunan infrastruktur PU yang dibiayai dan dikelola oleh pemerintah, tidak pernah melakukan kewajiban pelaporan PKL/RPL dari kegiatan yang telah dioperasikan kepada Badan Lingkungan Hidup Daerah. Hal ini menimbulkan pemikiran akan perlunya alokasi dana khusus untuk kegiatan RKL/PKL. Sharing kegiatan tersebut dengan pemerintah daerah, disamping porses pembebasan lahan perlu dipikirkan.

Keberadaan SEB/SKB tersebut dapat digunakan sebagai salah satu strategi di dalam pengendalian penataan ruang, misalnya dengan dibentuknya Tim Kendali Tata Ruang, dengan struktur keanggotaan berasal dari masing-masing kementerian teknis yang terkait. Strategi tersebut diharapkan dapat memperkuat implementasi penataan ruang yang lebih berkualitas. Disamping itu, dengan adanya Tim Kendali Tata Ruang di tiap daerah, diharapkan dapat menjadi salah satu upaya bagi solusi penggunaan lahan yang tidak sesuai atau melanggar peruntukkan ruang, yang dapat membawa dampak pada penurunan kualitas ruang dan lingkungan.

 

Penutup

Dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan infrastruktur bidang PU, terutama kegiatan yang dilaksanakan oleh Direktorat Teknis (Sumber Daya Air, Bina Marga, Cipta Karya) perlu mendapatkan perhatian yang serius terkait dengan aspek lingkungan. Perhatian terhadap lingkungan tersebut harus selalu ada didalam setiap proses kegiatan baik perencanaan, pembangunan, operasional, monitoring dan evaluasi maupun pengendalian. Berdasarkan pada hasil analisis dan rekomendasi kebijakan, maka di susun suatu strategi implementasi terhadap upaya Pembangunan Infrastruktur Bidang PU yang berwawasan lingkungan terutama yang tercermin dalam masing-masing tahapan kegiatan Direktorat Teknis, sehingga hal tersebut dapat menjadi pegangan didalam penyusunan program dan rencana kerja serta pelaksanaan kegiatan.

 

Daftar Pustaka

------------, 2009. Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) PANTURA Teluk Jakarta

------------, 2015. Rencana Strategis Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat 2015 – 2019

Brundtland Commission dalam http:// www.unngocsd.org/CSD_Definition

 Fraser Basin Council (FBC), Vancouver Canada dalam  http://www.unngocsd.org/CSD_Definition

Harvey, J. 1996. “Urban Land Economics”. 4th ed. London: Macmillan Press Ltd.

Howitt, R. 2001. “Rethinking Resource Management: Justice, Sustainability and Indigenous Peoples”. London: Routledge.

Keraf, A.S. 2002. “Etika Lingkungan”. Jakarta: Kompas.

Naveh, Z. and A.S. Liebermen. 1984. “Landscape Ecology: Theory and Application”. New York: Springer-Verlag.

Nugroho. 2003. “Menguak kerusakan DAS di Indonesia”. Kompas, 24 Agustus.

Kodoatie,Robert J. 2005. “Pengantar Manajemen Infrastruktur”. Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Stern, N. 2007. The Economics of Climate Change: The Stern Review. Cambridge, UK: Cambridge University Press.

 The World Bank. 2005. “Third Urban Research Symposium on Land Development, Urban Policy and Poverty Reduction”, Brazil

UNEP (United Nations Environment Programme) and WMO (World Meteorology Organization). 1996. The Science of Climate Change: Contribution of Working Group 1 to Second Assessment Report of the Intergovermental Panel on Climate Change. London: Cambridge University Press.

Yunus, Hadi S. 2001. “Dimensi Keruangan Kota: Dinamika Spasial Wilayah Perkotaan”

Hernawan Nugroho, SE, MT.

Jabatan Perencana Fungsional

Kompleks Kepatihan, Danurejan, Yogyakarta
(0274)589583, (0274)557418
(0274)562811
(0274)586712
http://bappeda.jogjaprov.go.id
bappeda@jogjaprov.go.id

Kontak Kami

Silahkan Kirim Tanggapan Anda Mengenai Website Ini Atau Sistem Kami Saat Ini. Tanggapan Anda Sangat Membantu Untuk Meningkatkan Pelayanan Kami Kepada Masyarakat.Apabila terdapat kendala dalam menemukan informasi yang dicari dapat mengunjungi halaman FAQ