Artikel


  • Iwan Sutardi Budi Santoso, ST. MT.
  • 31 Desember 2016 - 14:33:54

DISTORSI DAN KENDALA DALAM PROSES KEBIJAKAN PUBLIK DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

Pendahuluan

Serangkaian proses dalam alokasi kebijakan publik secara mudah disebut dengan proses kebijakan publik. Banyak ahli mendetailkan proses-proses yang terjadi dalam alokasi kebijakan publik. Dari pendapat-pendapat yang ada tersebut bisa ditarik benang merah bahwa proses kebijakan publik secara mudah terdiri dari tiga tahap : (1) bagaimana sebuah kebijakan direncanakan; (2) diimplementasikan; (3) dan dievaluasi.

Dalam perspektif pembangunan daerah, tahap-tahap dalam proses kebijakan publik diwujudkan dalam tahapan perencanaan program/kegiatan, implementasai program/kegiatan, dan evaluasi program/kegiatan. Perencanaan Pembangunan  Daerah sebagai sebuah kebijakan publik tidak terlepas dari permasalahan-permasalahan proses kebijakan publik. Paling tidak terdapat dua tahapan dalam porses yang kadang ditemui kendala dan permasalahan yakni :Pertama, bagaimana tujuan pembangunan yang dicantumkan dalam visi dan misi kepala daerah dijabarkan dalamprogram kegiatan. Kedua, kendala dan permasalahan implementasi program kegiatan untuk mencapai tujuan pembangunan, yang mengakibatkan terjadinya inkonsistensi antara perencanaan dengan implementasi-nya.

Kendala dan permasalahan tersebut diatas tidak terlepas dari bagaimana proses kebijakan publik dirumuskan dengan keterlibatan banyak pihak sesuai dengan kapasitas dan kepentingan masing-masing pihak.

Proses kebijakan publik di daerah tidak terlepas dari kendala dan masalah, terutama distorsi-distorsi yang terjadi di dalam prosesnya.Tulisan ini mencoba membahas dan mengkaji lebih mendalam penyebab-penyebab distorsiyang berasal dari kendala dan permasalahan kebijakan publik.

Pendekatan Teori

Kebijakan Publik, Robert Eyestone yang dikutip dalam (Budi Winarno, 2002) mengatakan bahwa secara luas kebijakan dapat didefinisikan sebagai hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya. Pengertian ini masih sangat luas dan kurang pasti karena apa yang dimaksud kebijakan dapat mencakup banyak hal.William Dunn seperti dikutip Inu Kencana Syafei (2006) mengatakan kebijakan adalah suatu rangkaian pilihan-pilihan yang saling berhubungan yang dibuat oleh lembaga atau para pejabat pemerintah pada bidang-bidang yang menyangkut tugas pemerintah. Pengertian kebijakan publik menurut Chandler dan Plano (1988) dapat diklasifikasikan sebagai intervensi pemerintah. Dalam hal ini pemerintah mendayagunakan berbagai instrumen yang dimiliki untuk mengatasi persoalan publik.

Secara mudah dapat dikatakan kebijakan publik adalah usaha pemerintah untuk mengatasi permasalahan-permasalahan publik. Penyelesaian permasalahan-permasalahan publik oleh negara yang dalam hal ini diwakili pemerintah diwujudkan dalam bentuk fungsi pelayanan. Fungsi pelayanan kepada masyarakat oleh pemerintah dilakukan melalui alokasi kebijakan publik di mana alokasi kebijakan publik dirumuskan bersama antar pelaku yang terlibat di dalam sistem pemerintahan.

Pada pelaksanaannya proses kebijakan publik dalam setiap tahapnya merupakan kegiatan yang begitu kompleks didalamnya yang melibatkan pihak-pihak dengan berbagai kepentingan mereka masing-masing dan kerumitan bisa bertambah ketika kebijakan tidak dirumuskan secara jelas sebagai akibat kompromi-kompromi politik yang mewarnai proses perumusan kebijakan tersebut. Kondisi yang demikian akan melahirkan konsekuensi terjadinya deviasi atas tujuan kebijakan atau program yang telah ditetapkan seperti dikatakan Hogwood dalam (Purwanto, 2012) kebijakan publik lebih banyak gagal atau paling tidak kebijakan publik tidak terwujud secara sempurna ketika diimplementasikan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi proses kebijakan publik, berbagai indikator yang dapat digunakan untuk menurut Hogwood sebagaimana dikutip Purwanto (2012) kenyataan proses kebijakan publik yang sempurna tidak pernah terwujud dikarenakan beberapa hal, yaitu :

  1. Ada hambatan eksternal. Kegagalan implementasi bukan karena lemahnya kebijakan, namun bisa jadi karena faktor-faktor diluar organisasi;
  2. Waktu dan sumber daya yang tidak tersedia secara memadai;
  3. Kebijakan yang tidak didasarkan pada landasan pemikiran (teoritis) yang kuat tentang hubungan sebab akibat antara kebijakan dan hasil yang akan dicapai;
  4. Hubungan sebab akibat antara kebijakan dengan hasil jarang bersifat langsung. Sering kali terjadi satu kebijakan akan menimbulkan dampak dalam waktu yang lama;
  5. Lembaga pelaksana jarang yang mandiri, mereka sangat tergantung pada aktor yang lain;
  6. Jarang ada kesepakatan yang umum di antara para aktor tentang tujuan kebijakan dan cara mencapainya;
  7. Jarang ada satu kondisi terjadinya komunikasi dan koordinasi yang sempurna.

 

1.      Perencanaan Pembangunan Daerah

Perencanaan Pembangunan Daerah menurut Deddy Supriyadi (2004) didefinisikan sebagai suatu proses penyusunan tahapan-tahapan kegiatan yang melibatkan berbagai unsur di dalamnya, guna pemanfaatan dan pengalokasian sumber-sumber daya yang ada dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial dalam suatu lingkungan wilayah daerah dalam waktu tertentu.

Pendekatan yang digunakan dalam perencanaan pembangunan daerah adalah dalam penyusunan perencanaan pembangunan daerah dikehendaki memadukan pendekatan teknokratis, demokratis, partisipatif, politis, bottom up dan top down process. Penyusunan ini bermakna bahwa perencanaan daerah selain memenuhi kaidah penyusunan rencana yang sistematis, terpadu, transparan dan akuntabel  dan konsisten dengan rencana lain yang relevan, kepemilikan rencana (sense of ownership) juga menjadi aspek yang perlu diperhatikan. Keterlibatan stakeholder  dan legislatif dalam proses pengambilan keputusan perencanaan menjadi sangat penting untuk memastikan rencana yang disusun mendapatkan dukungan optimal bagi implementasinya.

 

Pembahasan

Didalam Sub bab ini disajikan uraian pembahasan bagaimana kendala dan permasalah penyebab distorsi kebijakan publik yang dirumuskan oleh Hogwood dalam proses pembangunan daerah.

1.  Hambatan Eksternal

Kegagalan implementasi belum tentu dikarenakan karena lemahnya kebijakan, namun bisa jadi karena faktor-faktor diluar organisasi. Seringkali antara lembaga perencana kebijakan dan lembaga teknis pelaksana kebijakan memiliki gap karena ketergantungan dengan pihak lain. Sebagai contoh pada beberapa program pengentasan kemiskinan untuk menentukan sasaran program diperlukan data dan informasi dari instansi diluar pemerintah daerah.

Ketersediaan data informasi yang dikeluarkan oleh lembaga diluar pemerintah daerah dalam hal waktu seringkali momennya tidak bertepatan dengan kapan data itu dibutuhkan. Ketika proses perecanaan program/kegiatan membutuhkan data sering data tidak setrta merta tersedia. Dari sisi kelengkapan data juga sering mengalami kendala, kebutuhan suatu datauntuk proses analisis sangat tergantung dengan pihak lain. Sebagai contoh BPS adalah lembaga di luar pemerintah daerah yang berwenang menyediakan data statistik dasar. Kebutuhan data-data yang dihasilkan BPS sangat tinggi sedangkan ketersediaannya tentunya menunggu release dari BPS.

2. Waktu Dan Sumber Daya

Proses perumusan perencanaan kebijakan yang dilakukan harus mensinergikan tatakelola waktu dari masing-masing aktor. Idealnya pelaksanaan perumusan rencana pembangunan dilakukan secara berjenjang mulai dari tingkatan desa sampai dengan provinsi, akan tetapi masalah-masalah yang terjadi di lapangan menyebabkan tidak semua pedoman pelaksanaan dapat dilalui dengan baik. Hal tersebut masih ditambah dengan perumusan kebijakan di tingkat provinsi harus disinergikan dengan kebijakan dari pusat sedangkan tatakala waktunya kadang tidak bertepatan. Kendala waktu seperti dicontohkan di atas tentunya akan membawa dampak seperti terjadinya distorsi atas berbagai hal yang dibutuhkan dalam perumusan kebijakan.

Tidak semua aktor yang terlibat dalam proses kebijakan memiliki sumber daya yang sama baik itu SDM maupun sumber daya yang lain. Keterbatasan SDM maupun sumber daya lainnya akan mempengaruhi perumusan kebijakan mana saja yang perlu diprioritaskan atau didahulukan. Jika kapasitas SDM tidak mendukung seringkali para aktor tidak bisa secara ideal merumuskan kebijakan.

 

3. Kebijakan yang tidak didasarkan pada landasan pemikiran (teoritis) yang kuat tentang hubungan sebab akibat antara kebijakan dan hasil yang akan dicapai

Keterbatasan waktu pada akhirnya akan menimbulkan konsekuensi pada kualitas rumusan kebijakan yang dibuat. Proses kebijakan memerlukan waktu yang ideal dalam perumusannya sehingga analisa-analisa yang diperlukan dalam proses kebijakan mempunyai kualitas yang baik. Seringkali keterbatasan waktu dan kelengkapan data informasi menyebabkan rumusan kebijakan yang dibuat tidak didasarkan pada landasan pemikiran teoritis yang kuat dikarenakan analisa-analisa yang dilakukan tidak dapat dilakukan secara ideal.

Hal tersebut dapat dilihat dalam penyusunan APBD, pada saat perencanaan, besaran anggaran masih sangat indikatif maka sering disebut sebagai pagu indikatif.  Pada posisi pagu indikatif itulah jumlah yang akan disasar sangatlah terbatas dan selektif karena proses teknokratis menuntut seperti itu. Namun pada proses berikutnya yaitu penganggaran (KUA PPAS dan APBD) selalu terjadi perubahan kemampuan keuangan daerah (kepastian DAU, DAK dan Dana Perimbangan lainnya), sehingga menimbulkan perubahan pagu indikatif menjadi plafon anggaran dan selanjutnya menjadi definitif anggaran (DPA). Perubahan rupiah tentunya memicu perubahan tolok ukur kinerja yang telah ditetapkan sebelumnya.

Perubahan-perubahan yang terjadi seharusnya juga ditindaklajuti dengan penyesuaian-penyesuaian pada beberapa hal. Keterbatasan waktu sumber daya tentunya akan mempengaruhi kualitas analisa, dampak selanjutnya pemikiran teoritis  yang kuat tentang hubungan sebab akibat antara kebijakan dan hasil yang akan dicapai tidak mendasari kebijakan yang dirumuskan.

4. Lembaga Pelaksana Jarang yang Mandiri

Lembaga pelaksana teknis kebijakan jelas terlihat tidak bisa mandiri. Intervensi dari pihak ekternal pelaksana teknis, keterbatasan waktu, keterbatasan data dan informasi membuat pelaksana akhirnya justru melaksanakan kepentingan pihak yang lebih dominan. Pelaksana teknis kebijakan tidak bisa secara kuat kemandiriannya dalam  melaksanakan kebijakan. Padahal seharusnya jika menyangkut sasaran dari kebijakan  tentunya lembaga pelaksana teknis yang memiliki dasar pengetahuan yang paling dominan.

Ketergantungan pelaksana teknis  kebijakan terhadap pihak lain dapat dilihat dalam penentuan sasaran suatu program/kegiatan. Contoh yang jelas dapat dilihat dalam beberapa program kegiatan pengentasan kemiskinan. Sasaran program/kegiatan ditentukan oleh satu lembaga yang ditunjuk Pemerintah (BPS), kebutuhan data/informasi penerima program tidak serta merta dapat disediakan oleh BPS, kenyataannya prosedur untuk mendapatkan data tidak selalu mudah.

5. Jarang ada kesepakatan yang umum di antara  para aktor tentang tujuan kebijakan dan cara mencapainya

Salah satu tahapan penting dalam proses perencanaan tahunan pemerintah daerah adalah penyusunan dokumen RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Daerah). Dokumen RKPD yang merupakan penjabaran dari RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) dan mengacu pada Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Pemerintah Pusat yang memuat rancangan kerangka ekonomi daerah, prioritas pembangunan daerah, rencana kerja dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah daerah maupun ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat. Penjabaran RPJMD dimaksud bertujuan untuk mewujudkan pencapaian visi, misi dan program kepala daerah dan wakil kepala daerah.

Dokumen RKPD mempunyai nilai sangat strategis dan penting, karena dokumen ini merupakan instrumen pelaksanaan RPJMD hasil proses teknokratis. Selain itu, dokumen RKPD merupakan acuan penyusunan Rencana Kerja Satuan Kerja Pereangkat Daerah (Renja SKPD), berupa program/kegiatan SKPD dan/atau lintas SKPD. Dokumen RKPD ini juga dapat digunakan untuk menjaga konsistensi program dan sinkronisasi pencapaian sasaran RPJMD. RKPD merupakan landasan penyusunan KUA dan PPAS (Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas & Plafon Anggaran Sementara) untuk menyusun RAPBD, dan merupakan pedoman dalam mengevaluasi rancangan peraturan daerah tentang APBD.

RKPD menjadi pertimbangan utama dalam penyusunan RAPBD yang dibuat oleh Kepala Daerah, DPRD dan SKPD sendiri dalam pembuatan kebijakan umum terkait rancangan anggaran di daerah. RKPD menjadi literatur utama dalam pembuatan anggaran dikarenakan di dalam dokumennya sudah memuat rencana kinerja selama satu tahun dari seluruh SKPD di level pemerintah daerah. RKPD membantu memberikan sumber informasi mengenai perkembangan capaian program yang sudah dilakukan oleh SKPD, mengetahui SKPD mana yang indikatornya belum terpenuhi,
mengetahui besaran serapan dana yang dikeluarkan oleh SKPD, mengetahui kapasitas anggaran yang dimiliki pemerintah dalam pembuatan skala prioritas kerja SKPD dan mengetahui setiap persoalan-persoalan yang sifatnya publiknes dan segera membutuhkan respon langsung dari pemerintah daerah.

Secara umum perencanaan dan pelaksanaan program dan kegiatan pembangunan daerah sangat dipengaruhi oleh dua faktor utama, yang pertama adalah para pihak yang terlibat dalam proses perencanaan dan pelaksanaan program dan kegiatan, dan yang kedua adalah bagaimana proses perencanaan dan pelaksanaan program dan kegiatan itu berjalan.

Pihak yang paling berpengaruh terlibat dalam proses perencanaan dan pelaksanaan program dan kegiatan pembangunan daerah saat ini mencakup pemerintah dan masyarakat (termasuk di dalamnya wakil rakyat). Sedangkan dinamika yang paling berpengaruh terhadap perencanaan dan pelaksanaan program dan kegiatan pembangunan daerah adalah proses politisnya (dibanding teknokratisnya). Oleh karena itu faktor politis sesungguhnya sangat dominan dalam proses perencanaan maupun pelaksanaan program dan kegiatan pembangunan daerah.


Dengan melihat gambar di atas, sesungguhnya proses politis terlihat sangat mewarnai di setiap tahapan perencanaan dan penganggaran program pembangunan daerah. Produk-produk perencanaan yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah menjadi produk politis hasil kerja panitia khusus Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). DPRD dengan hak budget-nya akan sangat mewarnai proses politis dalam penyusunan KUA PPAS sampai dengan penyusunan APBD.

Konsistensi menjadi kata kunci dari setiap proses pembangunan daerah agar sasaran pembangunan dapat tercapai. Namun demikian dalam perjalanan proses penyusunan kebijakan perencanaan dan penganggaran sering terdapat ketidak konsistenan. Konsistensi terendah biasanya pada keterkaitan dokumen RKPD dan APBD, karena tidak selamanya proses teknokratis sejalan dengan proses politisnya.

6. Jarang Ada Satu Kondisi Terjadinya Komunikasi Dan Koordinasi Yang Sempurna

Proses perencanaan Program/kegiatan terpisah dari penganggaran, hal tersebut menimbulkan ketidakjelasan informasi besaran anggaran. Implikasi dari hal tersebut adalah para aktor yang terlibat didalam proses perencanaan seringkali membuat usulan sebanyak-banyaknya agar kemungkinan usulan yang disetujui juga semakin banyak. Terpisahnya proses perencanaan dan anggaran ini juga berlanjut pada saat memerankan perannya sesuai dengan kapasitasnya masing-masing, pembagian kerja, hubungan kerja, delegasi wewenang, integrasi, dan koordinasi. Prinsip alokasi kebijakan yaitu efektif dan efisien tentunya tidak akan mudah diwujudkan.

Penutup

Proses kebijakan publik merupakan proses yang begitu kompleks, melibatkan banyak pihak dan banyak kepentingan. Kompleksitas proses tersebutmemiliki konsekuensi terjadinya masalah dan distorsi dalam perencanaan pembangunan daerah, serta berpotensi tidak sempurna dan bahkan gagal ketika diimplementasikan.Faktor-faktor yang dominan mempengaruhi adalah karena adanya hambatan eksternal, sumber daya tidak memadai, tidak didasarkan pada landasan pemikiran (teoritis), pelaksana bergantung pada aktor yang lain, tidak terbangun kesepakatan yang baik, dan kurang komunikasi dan koordinasi.

 

Daftar Pustaka

Purwanto, Dyah.2012. Implementasi Kebijakan Kebijakan Publik. Yogyakarta:Gava Media.

Budi Winarno. 2002. Apakah Kebijakan Publik ? dalam Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta : Media Pressindo.

Dunn, William N. 2003.  Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press

Syafie, Inu Kencana. 1992. Pengantar Ilmu Pemerintahan. Jakarta : PT Eresco.

Riyadi, Dady.S. 2005. Perencanaan Pembangunan Daerah, Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.

Iwan Sutardi Budi Santoso, ST. MT.

Jabatan Perencana Fungsional

Kompleks Kepatihan, Danurejan, Yogyakarta
(0274)589583, (0274)557418
(0274)562811
(0274)586712
http://bappeda.jogjaprov.go.id
bappeda@jogjaprov.go.id

Kontak Kami

Silahkan Kirim Tanggapan Anda Mengenai Website Ini Atau Sistem Kami Saat Ini. Tanggapan Anda Sangat Membantu Untuk Meningkatkan Pelayanan Kami Kepada Masyarakat.Apabila terdapat kendala dalam menemukan informasi yang dicari dapat mengunjungi halaman FAQ