Artikel


  • Imam Karyadi Aryanto, SIP, MPA
  • 31 Desember 2014 - 14:39:15

DESENTRALISASI FISKAL DAN UPAYA PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA : STUDI KINERJA APBD PEMDA DIY TAHUN ANGGARAN 2013

Abstrak

Artikel ini mendeskripsikan bagaimana kebijakan desentralisasi fiskal diimplementasikan di DIY dalam rangka penanggulangan kemiskinan. Studi kasus dalam tulisan ini melihat bagaimana kinerja APBD Pemda DIY Tahun Anggaran 2013. Dengan pencapaian IPM tinggi sebagai proxy kesejahteraan masyarakat, DIY berhadapan kondisi tingginya angka kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi.

Substansi desentralisasi fiskal dan upaya penanggulangan kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta dalam pembahasannya dimaksudkan untuk menganalisis korelasi antara kebijakan disentralisasi fiskal yang disusun oleh Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta dalam mengatasi masalah kemiskinan. Dalam hal ini diidentifikasi determinasi dari kemiskinan yang menggambarkan pengaktegorian kemiskinan penduduk di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Dalam studi ini dampak dari kebijakan desentralisasi fiskal juga diuraikan seberapa besar pengaruhnya terhadap penurunan angka kemiskinan di DIY, serta tingkat efektivitas kebijakan yang saat ini diteerapkan dalam usaha pengentasan kemiskinan.

Kata kunci : Desentralisasi Fiskal, Kemiskinan, Anggaran

1 DIY Daerah Setingkat Provinsi dengan Tingkat Kemiskinan Tertinggi se-Jawa?

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada tahun 2012 dinilai BPS sebagai daerah setingkat provinsi yang memiliki tingkat kemiskinan tertinggi se-Jawa. Tingkat kemiskinan tersebut lebih tinggi dari DKI Jakarta, Banten dan Jawa Tengah.[1] Tingkat kemiskinan DIY selama kurun 5 tahun terakhir sejak 2008 – 2012 cenderung menurun, dimana prosentase penduduk miskin pada tahun 2012 sejumlah 16,05% dari 16, 08% (2011) atau 18,32% (2008) yang dapat dilihat pada Grafik F-1. Dalam data yang terlansir pada BPS  prosentase penduduk miskin perdesaan (17,62%) di DIY lebih banyak daripada di perkotaan (13,73%). [2] Besarnya tingkat kemiskinan di pedesaan  tidak  bisa  terlepas  dari  peran  sektor  pertanian  yang  menjadi tumpuan utama masyarakat di pedesaan.

Prosentase penduduk miskin yang masih tinggi tersebut terkombinasi dengan meningkatnya kesenjangan ekonomi masyarakat DIY. Kesenjangan ekonomi masyarakat DIY tersebut dapat diukur dari indeks Gini (Gini

 

[1] Yulianingsih dan Ruslan, Heri. 2013. Tingkat Kemiskinan di DIY Tertinggi se-Jawa. Republika. 2 Janurari 2013. Dapat diakses melalui laman http://www.republika.co.id/berita/nasional/jawa-tengah-diy-nasional/13/01/02/mfzoyv-tingkat-kemiskinan-di-diy-tertinggi-sejawa  ( diakses 25 April 2014)

[2] Data tersebut diperoleh dan diolah dari laman BPS RI yang dapat diakses melalui laman http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1%20&daftar=1&id_subyek=23&notab=1 (9 Juni 2014).

ratio). Indeks gini sendiri digunakan untuk mengukur kesenjangan distribusi pendapatan penduduk.[1] memiliki skala antara 0 sampai dengan 1, dimana 0 mewakili keadilan absolut dan 1 adalah kesenjangan absolut. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir indeks gini cenderung meningkat mendekati angka rata-rata 0,5. Pada tahun 2013, BPS mencatat indeks gini DIY sebesar 0,44, melampaui capaian tahun-tahun sebelumnya. Berturut-turut capaian indeks gini sebelumnya 2009 sebesar 0,38, tahun 2010 sebesar 0,41, tahun 2011 sebesar  0,4 dan terakhir 2012 sebesar 0,43. Dengan demikian kesenjangan ekonomi masyarakat di DIY cenderung meningkat; jurang antara si kaya dan si miskin semakin cenderung makin lebar.

Gambar 1   Persentase Penduduk Miskin di DIY dan Nasional, 2008-2012

Proporsi penduduk miskin yang masih diatas rata-rata, dan kesenjangan kesejahteraan yang meningkat di DIY sayangnya berada di dalam kondisi

[1]___. 2014. Gini coefficient.Dalam Wikipedia, melalui laman http://en.wikipedia.org/wiki/Gini_coefficient (diakses 20 Mei 2014).

ekonomi makro yang bertumbuh. Selama   kurun   waktu   2008-2012,   rata-rata   pertumbuhan   ekonomi  DIY mencapai 4,96% per tahun yang selengkapnya dapat dilihat pada Grafik F-2. Pada tahun 2012, laju pertumbuhan ekonomi DIY mencapai 5,32%. Sumber pertumbuhan ekonomi terbesar berasal dari sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor keuangan, konstruksi, industri dan sektor jasa-jasa, sedangkan sektor yang mengalami pertumbuhan terkecil adalah sektor pertanian. Dalama kurun 2008 -2012, sektor pertanian menunjukkan rata-rata pertumbuhan terendah, yaitu 1,27 persen per tahun.  Hal ini disebabkan pengaruh iklim yang sangat dominan dalam produktivitas pertanian, di samping semakin berkurangnya lahan pertanian (BPS DIY dan BAPPEDA DIY, 2013: 78).

Gambar 2   Pola Pertumbuhan Ekonomi DIY, 2000-2012

Terkait dengan kesenjangan kesejahteraan, pembangunan DIY mengalami kendala dengan terjadinya kesenjangan antar wilayah dalam kurun 2008-2012. Dengan meminjam tipologi Klassen, dapat dipotret  bahwa 

kemajuan dan pertumbuhan cepat hanya terjadi di Kota Yogyakarta (Kuadran II; “daerah maju dan berkembang pesat) dan Kabupaten Sleman (Kuadran I; “daerah berkembang pesat”) dalam kurun 2008-2012. Sementara itu tiga kabupaten sisanya, baik Bantul, Kulonprogo maupun Gunungkidul masih tertahan di Kuadran IV (“sebagai daerah tertinggal”). Hal ini terjadi karena kebijakan pemerintah daerah belum mampu menjamin pemerataan pembangunan secara frontal, seperti menggenjot investasi untuk ketiga kabupaten Kuadran IV.[1]

Kemiskinan dan kesenjangan di DIY tersebut masih terjadi pada era desentralisasi pembangunan di Indonesia pasca pengundangan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU 32/ 2004). Desentralisasi sebagaimana diatur dalam UU 32/2004 bertujuan untuk menggapai efisiensi pelayanan publik, efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, dan pengembangan sistem demokrasi, serta sebagai alat untuk pembangunan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik (Djohan, 2012). Sebagai alat pertumbuhan ekonomi yang lebih baik, desentralisasi dapat diwujudkan dalam bentuk kebijakan desesentralisasi fiskal. Desentralisasi fiskal akan menyangkut bagaimana Pemerintah Daerah mengelola keuangannya dari pengelolaan sumber dan terutama redistribusinya kepada publik. Lantas bagaimana kebijakan desentralisasi

 

[1] ____. 2013. Analisis Produk Domestik Regional Bruto Daerah Istimewa Yogyakarta 2013. Yogyakarta: Badan Pusat Statistik dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal. 80-81.

fiskal di Pemerintah Daerah DIY dalam melakukan penanggulangan kemiskinan?

2 Kemiskinan dan Determinannya

Angka kemiskinan secara mahfum diukur melalui garis kemiskinan yang ditetapkan BPS sebagai standar nasional. Garis kemiskinan menunjukkan jumlah rupiah minimum yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pokok minimum makanan yang setara dengan 2100 kilokalori per kapita per hari dan kebutuhan pokok bukan makanan. Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran konsumsi per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk miskin.[1] Dimana garis kemiskinan per September 2013 untuk perdesaan dan perkotaan adalahberupa pengeluaran per kapita per bulan sebesar Rp292.951 (BPS, 2014).[2]

Dengan angka kemiskinan tersebut Indonesia memiliki jumlah penduduk miskin mencapai mencapai 28,55 juta orang (11,47 %) pada bulan September 2013. [3] Pada waktu yang sama dan dengan garis kemiskinan tersebut, DIY memiliki proporsi penduduk miskin lebih tinggi yakni sebesar 15,03%. Menurut BPS, peranan komoditi makanan terhadap Garis Kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Sumbangan Garis Kemiskinan Makanan terhadap Garis Kemiskinan pada September 2013 tercatat sebesar 73,43%. [4]

Meski kontribusi komoditi bukan makanan seperti perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan memiliki kontribusi yang lebih kecil, penulis berpendapat bahwa komoditas bukan makanan juga menjadi determinan dalam mengukur pengaruhnya terhadap tingkat kemiskinan. Seperti yang diungkapkan oleh Usman, Sinaga dan Siregar (2006) determinan tingkat kemiskinan yang patut diperhatikan berada dalam 3 (tiga) kelompok variabel yakni (1) variabel karakteristik rumah tangga dan individu; (2) variabel faktor komunitas dan; (3) variabel karakteristik wilayah. Variabel karakteristik rumah tangga dan individu berkaitan dengan modal fisik berupa kepemilikan aset berupa luas lantai per kapita (rumah) dan lahan pertanian (produktif) dan modal non fisik berupa kualitas sumber daya manusia yang menyangkut tingkat pendidikan dan mata pencaharian (Usman, Sinaga dan Siregar, 2006: 7). Variabel faktor komunitas terkait dengan kondisi infrastruktur pendukung seperti listrik dan keberadaan jalan yang dapat dilalui kendaraan bermotor (Usman, Sinaga dan Siregar, 2006: 11). Sedangkan variabel karakteristik wilayah adalah dari segi topografi yang dibedakan menjadi daerah pantai, daerah dataran, dan daerah pegunungan (Usman, Sinaga dan Siregar, 2006: 13).

Kemiskinan yang terjadi di DIY secara umum tergambarkan oleh ketiga variabel determinan tersebut diatas.  Namun secara spesifik variabel karakteristik rumah tangga dan individu yang  diantaranya dapat dilihat dari aspek pengeluaran (kemiskinan ekonomi). Faturochman dan Molo (1994) jauh sebelum era desentralisasi menyimpulkan bahwa kemiskinan ekonomi di DIY berkaitan dengan kemiskinan lain seperti pendidikan, perumahan, dan akses terhadap informasi. Senyampang dengan Faturochman dan Molo (1994), Munir (2002) menguatkan dengan mengemukakan bahwa kemiskinan sebagaimana –umumnya di Pulau Jawa- bersumber pada keterbatasan sumberdaya, keterbatasan tanah, modal dan sempitnya kesempatan kerja yang bermuara hidupnya lingkaran setan. Lingkaran setan seperti ini mengakibatkan rendahnya konsumsi/ pendapatan, seterusnya berakibat pada rendahnya tabungan dan investasi (i.e pendidikan, perumahan) dan akhirnya berakibat pada keterbelakangan dan ketertinggalan (Munir 2002, 11). Lingkaran setan kemiskinan yang demikian menjadi tantangan bagi wilayah di DIY, khususnya yang berada di Kuadran IV (Gunungkidul, Bantul, Kulonprogo) dimana sebagian besar dari tenaga kerja bergerak di sektor pertanian (Kunarjo, 1992 dalam  Munir 2002: 10).

3 Kebijakan Fiskal dan Penanggulangan Kemiskinan: Instrumen, Fungsi dan Desentralisasi

Kebijakan fiskal memerlukan dua instrumen berupa (1) kebijakan pajak dan (2) pengeluaran pemerintah (Mankiw, 2003; Turnovsky, 1981 dalam Maipita, et.al, 2010). Kebijakan fiskal atau penganggaran memiliki tiga fungsi:(1) fungsi alokasi, (2) fungsi distribusi, dan (3) fungsi stabilisasi  (Maipita, et.al, 2010:) yang lebih lanjut dikemukakan,

Fungsi alokasi berhubungan dengan persediaan barang-barang sosial dan proses pemanfaatan sumber daya secara menyeluruh untuk produksi barang-barang swasta, barang-barang sosial, dan kombinasi dari barang-barang sosial yang telah dipilih. Fungsi distribusi berhubungan dengan persamaan kesejahteraan dan distribusi pendapatan dalam masyarakat. Sementara fungsi stabilisasi untuk menstabilkan atau mempertahankan rendahnya tingkat pengangguran, harga atau tingkat inflasi, dan pertumbuhan ekonomi yang telah ditargetkan.

Pajak sebagai instrumen kebijakan fiskal merupakan aspek penting dalam redistribusi kesejahteraan melalui transfer. Pajak yang dikenakan bagi seluruh warga negara memiliki arti penting karena merupakan sumber penerimaan yang sustain dan terbesar –sekitar 78% (Prastowo, 2014). Pajak juga dapat digunakan dalam membingkai demokratisasi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) (Prastowo, 2014). 

Kebijakan fiskal selain menjadi bukti bagaimana pendapatan masyarakat diredistribusi secara adil dan demokratis, juga memiliki fungsi dan kegunaan sebagai sarana mobilisasi sumberdaya untuk meningkatkan investasi, menyediakan infrastruktur dan pengelolaan energi. Adanya mobilisasi sumber daya tersebut pada gilirannya akan mempercepat  pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya akan mengurangi tingkat pengangguran dan kemiskinan (Jorge Restrepo,2011 dalam Sujai 2011)

Fungsi-fungsi kebijakan fiskal tersebut kemudian diwujudkan dengan adanya desentralisasi fiskal untuk menunjang pembangunan di daerah. Desentralisasi fiskal dapat dimaknai sebagai penyerahan sebagian dari tanggungjawab fiskal atau keuangan negara dari pemerintah pusat kepada jenjang pemerintahan di bawahnya (Provinsi, Kabupaten/ Kota) untuk mendekatkan pembangunan, penyediaan layanan publik dan sumber daya anggaran kepada publik (Kumorotomo, 2008). Desentralisasi fiskal memiliki tujuan ekonomis dalam hal pembangunan daerah tersebut. Desentralisasi fiskal memiliki fungsi penanggulangan kemiskinan sekurangnya dalam hal (1) mencegah disparitas fiskal di antara pemerintah daerah dan menjamin pemberian pelayanan umum dasar bagi warga negara di seluruh tanah air; (2) meningkatkan kesejahteraan sosial rakyat Indonesia; dan mendukung stabilitas ekonomi makro (Sidik dan Kadjatmiko, 2002 dalam Kumorotomo, 2008).[5]

4 Kebijakan Desentralisasi Fiskal Pemda DIY Untuk Penanggulangan Kemiskinan

Penanggulangan kemiskinan merupakan prioritas pembangunan di DIY yang ditangani oleh Pemerintah Daerah, terutama Pemerintah Daerah DIY (Pemda DIY). Prioritas tersebut sekurangnya terkait dengan isu strategis : (1) Tingginya Kemiskinan dan Pengangguran di Pedesaan dan Perkotaan dan (2) Kurangnya sarana prasarana pendukung keterkaitan antar wilayah (LKPJ 2013). Prioritas tersebut ditetapkan untuk menurunkan jumlah penduduk miskin terutama di daerah kantong-kantong kemiskinan dan untuk meningkatkan kualitas pengelolaan ketenagakerjaan; Kualitas pengelolaan ketransmigrasian; dan Kemandirian dan keberdayaan masyarakat (LKPJ 2013). Prioritas penanggulangan kemiskinan memiliki keterkaitan erat dengan prioritas pendukung sebagai linkage diantaranya prioritas pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan pembangunan daerah tertinggal demi pemerataan akses untuk publik/ masyarakat. Pemerataan tersebut terutama ditujukan kepada publik/ masyarakat yang hidup pada kantong-kantong kemiskinan (LKPJ 2013) dari 3 kelompok variabel baik karakteristik rumah tangga dan individu, komunitas maupun karakteristik wilayah.

Prioritas-prioritas diatas dapat dilihat dari bagaimana Pemda DIY mengelola kebijakan desentralisasi fiskalnya melalui dua instrumen yakni kebijakan pajak dan pengeluaran pemerintah (Mankiw, 2003; Turnovsky, 1981 dalam Maipita, et.al, 2010). Kedua instrumen ini kemudian digunakan dalam mengelola program penanggulangan kemiskinan terutama dalam penanganan penduduk DIY yang berada di bawah garis kemiskinan dan determinan kemiskinan yang perlu ditanggulangi.

4.1 Kebijakan Pajak: Kinerja Sumber Pembiayaan

Untuk dapat menggerakkan fungsi pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan masyarakat dan pelayanan publik Pemda DIY, sumber pendapatan daerah sebagai penopang program/kegiatan secara umum dan penanggulangan kemiskinan daerah khususnya. Upaya-upaya yang telah dilakukan oleh Pemda DIY dengan melakukan (1) Peningkatan penerimaan (intensifikasi); (2) Penggalian sumber-sumber pendapatan baru (ekstensifikasi); (3) Optimalisasi Aset Daerah; (4) Peningkatan kinerja BUMD dan Peningkatan Dana Perimbangan. Strategi yang kemudian ditempuh adalah perbaikan manajemen terhdap pengelolaan potensi pendapatan daerah dan peningkatan investasi dengan membangun iklim usaha yang kondusif (LKPJ 2013).

Hasil kinerja dari strategi tersebut dapat tergambarkan dari capaian target pendapatan Pemda DIY Tahun 2013 yang tertuang di dalam APBD DIY Tahun Anggaran 2013. Perolehan target pendapatan Pemda DIY Tahun 2013 hanya tercapai 97,17% atau sebesar Rp 2,583 Triliun dari target yang direncanakan sebesar Rp 2,658 Triliun (LKPJ DIY 2013). Sumber-sumber pendapatan Pemda DIY bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan dan Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah. Sebagian besar sumber pendapatan Pemda DIY berasal dari PAD sebesar 47%, disusul dana perimbangan (16%) dan lain-lain pendapatan daerah yang sah sebesar 16% (LKPJ DIY 2013). Dari ketiga sumber pendapatan daerah PAD adalah sumber pendapatan yang melampaui target sebesar 105, 66%, kedua sumber lain tidak mencapai target. Secara umum daya dukung pemerintah pusat dalam mendesentralisasikan fiskalnya lebih kecil. Daya dukung tersebut sekira 32% yang berasal dari dana perimbangan (DAU, DAK) dan lain-lain pendapatan yang sah dalam hal ini anggaran kewenangan otonomi khusus/ keistimewaan. 

Lebih lanjut, sebagian besar PAD Pemda DIY ditopang dari pajak daerah sebesar 88%. Pajak daerah tersebut sebagian besar dihasilkan dari Pajak Kendaraan Bermotor (PKB; 43%) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB; 42%), serta sebagian kecil diperoleh dari Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (15%) dan Pajak Air Permukaan (dibawah 1%). Kondisi tersebut menggambarkan topangan anggaran pembangunan Pemda DIY yang sebagian besar dari PKB dan BBNKB. Berdasar kondisi tersebut dapat tergambarkan tumbuhnya kelas menengah yang tuntas dalam memenuhi kebutuhan makanan dan bukan makanan apabila dilihat dari kepemilikan kendaraan bermotor.  Selain menjadi prestasi, dominasi pajak daerah yang bersumber dari pajak kendaraan bermotor dapat menjadi eksternalitas bagi sektor/ urusan lain dalam ranah publik.  Eksternalitas yang dapat terjadi diantaranya adalah polusi dan berkurangnya daya dukung lingkungan yang dihasilkan dari kemacetan lalu lintas.          

4.2 Pengeluaran Pemerintah: Kinerja Belanja

Dalam merealisasikan prioritas-prioritas untuk menanggulangi kemiskinan, instrumen pengeluaran pemerintah merupakan implementasi dari fungsi alokasi, distribusi dan stabilisasi dari kebijakan desentralisasi fiskal daerah Pemda DIY. Belanja Pemda DIY dalam penanggulangan kemiskinan terwujud dalam implementasi penyelenggaraan urusan wajib diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Belanja penyelenggaraan urusan wajib daerah tersebut bertujuan untuk memenuhi kewajiban daerah dalam peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak serta mengembangkan sistem jaminan sosial. Belanja wajib daerah tersebut terhubung dengan prioritas penanggulangan kemiskinan dan didukung dengan urusan pilihan seperti pertanian, kelautan, kehutanan dan sebagainya.

Kinerja belanja daerah Pemda DIY Tahun 2013 terealisasi sebesar Rp2,509 Triliun dari target belanja sebesar Rp2,917 Triliun atau sebesar 86,02% (LKPJ 2013). Dari total Rp2,509 Triliun Sebagian besar belanja digunakan untuk belanja tidak langsung sebesar 57% dan sisanya untuk belanja langsung yang identik dengan belanja program/ kegiatan pembangunan (sebesar 43%).   Penganggaran belanja daerah Pemda DIY diarahkan untuk mengurangi angka kemiskinan di DIY sebesar 2% (LKPJ 2013) pada tahun anggaran 2013. Dalam memenuhi tujuan tersebut APBD DIY dialokasikan dengan melakukan distribusi anggaran belanja melalui mekanisme APBD Kabupaten/kota. Besaran anggaran belanja yang didistribusikan kepada Kabupaten/ Kota adalah sebesar 35% dari Anggaran Belanja Tidak Langsung (57% dari belanja APBD);  yang terdiri dari Belanja Bagi Hasil Kepada Kabupaten/Kota dan Pemerintah Desa (26%)dan Belanja Bantuan Keuangan Kepada Kabupaten/ Kota dan Pemerintah Desa (9%). Dari porsi anggaran belanja keuangan kepada kabupaten/kota dan pemerintah desa tersebut dianggarkan sekira Rp46 Miliar untuk disalurkan bagi 46.000 Kepala Keluarga (KK) miskin. Dana tersebut disalurkan melalui program bantuan khusus keuangan kabupaten/kota. Sejumlah 46.000 KK Miskin tersebut merupakan satuan Rumah Tangga Sasaran (RTS) yang masing-masing menerima Rp1 juta yang kemudian mengelolanya secara berkelompok untuk mendukung usaha produktif masyarakat (Sudrajat, 2013). Penetapan dan penyaluran bantuan khusus keuangan sebesar Rp.46 Miliar tersebut memiliki landasan hukum berupa Surat Keputusan Gubernur No. 90/ KEP/ 2013 tentang Penetapan Rumah Tangga Sasaran dan Jumlah Bantuan Keuangan Khusus (BKK) kepada Kabupaten/ Kota Tahun 2013 dan Peraturan Gubernur Nomor 22 Tahun 2013 tentang Pedoman Penyaluran Bantuan Keuangan dalam Upaya Pengentasan Kemiskinan. Pada data yang tertera pada LKPJ 2013 realisasi bantuan khusus tersebut adalah sebesar Rp.81,5 Milyar. Kabupaten Gunungkidul mendapatkan proporsi terbesar bantuan khusus tersebut sebesar Rp22 Milyar (26%). Sementara Kota Yogyakarta hanya menerima Rp.7 Milyar (9%).

Belanja langsung atau belanja program/kegiatan yang sebesar 43% tersebut sebelumnya, juga turut mendukung prioritas penanggulangan kemiskinan melalui pelaksanaan urusan wajib dan urusan pilihan Pemda DIY. Belanja langsung Pemda DIY dalam mendukung penanggulangan kemiskinan sebagian besar digunakan untuk prioritas infrastruktur (variabel komunitas) sebesar 31% melalui urusan wajib pekerjaan umum, energi dan sumber daya mineral. Prioritas yang berhubungan dengan kualitas sumber daya manusia (variabel keluarga dan individu) seperti pendidikan memiliki proporsi 12%, kesehatan 8%, sosial 3%, tenaga kerja dan transmigrasi sebesar 2% serta pemberdayaan masyarakat sebesar 1% atau diperkirakan secara akumulatif sebesar 26% dari keseluruhan belanja program/kegiatan.  Belanja Secara akumulatif belanja untuk urusan Otonomi Daerah, Pemerintahan Umum, Administrasi Keuangan Daerah, Kepegawaian dan Persandian dibiayai sebesar 19% dari total belanja langsung. Titik berat infrastruktur berhubungan dengan penanganan kesenjangan antar wilayah/ kabupaten/ kota di DIY. Kesenjangan yang dimaksud adalah bagi Kabupaten di DIY yang masih berada di Kuadran IV. Sementara itu porsi belanja untuk otonomi daerah (dan seterusnya) sebesar 19% tersebut menerbitkan harapan akan adanya daya dukung mesin birokrasi yang dapat bekerja profesional untuk mendukung kinerja organisasi Pemda DIY dalam mencapai tujuan penanggulangan kemiskinan.

5 Kesimpulan dan Catatan

Secara garis besar Pemda DIY telah berupaya memanfaatkan kebijakan desentralisasi fiskal dari dua instrumen, baik pajak maupun belanja, untuk menanggulangi kemiskinan. Target penurunan kemiskinan sebesar 2% dalam tahun 2013 dapat dikatakan terlampau percaya diri, ambisius dan sulit tercapai (Sudrajat, 2013). Kenyataanya memang jumlah penduduk miskin di DIY hanya turun dari 

16,05% menjadi 15,03% pada tahun 2013. Pada pembaruan data, kemiskinan di DIY dinyatakan Gubernur turun 0,85%, dari 15,88 (2012) menjadi 15,03% (2013).[6] Meski terus turun, angka kemiskinan di DIY masih  menempati urutan 9 dari 33 Provinsi di Indonesia, lebih banyak dari Provinsi Jawa Tengah pada urutan 10 (14,44%).  Adapun prosentase rata-rata penduduk miskin Indonesia pada bulan September 2013 adalah sebesar 11,47%. Dengan demikian prosentase penduduk miskin di DIY masih melebihi rata-rata nasional, dan secara sederhana berada dibawah standar kesejahteraan Nasional.

Meski dinilai kurang berhasil memenuhi target oleh para wakil rakyat di DPRD DIY, program penanggulangan kemiskinan dengan BKK ke Kabupaten/ Kota pada tahun 2014 diteruskan dengan target 27.000 RTS KK miskin dengan menelan anggaran Rp.27 Milyar.[7] Menyoal kurang berhasilnya program BKK dalam meredistribusi instrumen fiskal untuk penanggulangan kemiskinan patut dicatat sebagai berikut:

  1. Perlu adanya sinkronisasi produk hukum dan perencanaan yang menunjang program penanggulangan kemiskinan antar Pemerintah Pusat-Pemda DIY dan Pemda Kabupaten/ Kota agar memudahkan operasionalisasi kebijakan.
  2. Implementasi program tahun 2013 belum didukung sosialisasi dan monitoring (pendampingan) melekat dari pemerintah daerah setempat (kabupaten/kota) sebagai unsur yang tidak terpisahkan dari kebijakan desentralisasi fiskal Pemda DIY dalam menanggulangi kemiskinan. Sehingga pada implementasi berikutnya sosialisasi dan monitoring menjadi agenda penting dalam keseluruhan implementasi kebijakan.
  3. Substansi kebijakan terkait skala modal produktif yang dikucurkan untuk mengangkat harkat RTS perlu diperkuat dengan program-program yang dibiayai dan atau difasilitasi sesuai urusan/ prioritas pembangunan dalam rangka menanggulangi kemiskinan. Hal tersebut menjadi penting agar bantuan tersebut tidak habis untuk konsumsi; oleh karenanya dukungan sektor kesehatan, pendidikan, infrastruktur masih diperlukan.
  4. Perlu menjaga kesinambungan, sinergi dan pembagian peran dengan program pemerintah pusat dalam menanggulangi kemiskinan demi menghindari tumpang tindih program; misal keterkaitan program penanggulangan kemiskinan di DIY melalui BKK dengan Program Keluarga Harapan, PNPM Perkotaan dan Perdesaan, dan Kredit Usaha Rakyat.
  5. Perlu dukungan stakeholder lain dari swasta, masyarakat dan akademisi untuk berpartisipasi dalam program penanggulangan kemiskinan di daerah. Misalnya dengan optimalisasi peran 118 perguruan tinggi di DIY melalui Kuliah Kerja Nyata (KKN di kantung-kantung kemiskinan dengan pendekatan one faculty/ department one village/ sub village (OFOV; dalam Susilo, 2013). Partisipasi antar stakeholder akan membangun jejaring dan sekaligus menghemat sumber daya fiskal daerah.
  6. Pendapatan Asli Daerah yang masih bertumpu pada pajak daerah terutama pajak kendaraan bermotor dan bea balik nama kendaraan bermotor perlu dievaluasi. Karena ekstensifikasi dan intensifikasi pajak kendaraan bermotor akan menimbulkan eksternalitas negatif yang berpeluang menurunkan kualitas kesejahteraan masyarakat; misal karena pencemaran lingkungan.
  7. Capaian Indeks Pembangunan Manusia DIY yang menempati urutan keempat nasional (2013) dapat menjadi ukuran keberhasilan kesejahteraan. Namun IPM perlu dilengkapi kualitasnya dengan pengurangan prosentase penduduk miskin agar sejajar dengan standar nasional, agar pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dapat dinikmati publik dan memiliki nilai keadilan.

6 Daftar Pustaka

_____. 2012. Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor  26  Tahun  2012 Tentang Rencana Kerja Pembangunan Daerah Tahun 2013. Yogyakarta: Pemda DIY.

_____. 2013. Data APBD 2013. Jakarta : Dirjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan dapat diakses pada http://djpk.depkeu.go.id/   Data: 15 Juli 2013

_____. 2013.  Analisis Produk Domestik Bruto Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: BPS DIY dan BAPPEDA DIY

_____. 2013. Kemiskinan dan Perekonomian. Laporan. Jakarta: Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan Republik Indonesia dan USAID-SEADI. Februari 2013. dapat diakses melalui http://www.tnp2k.go.id/images/uploads/downloads/Poverty%20Brief%20February%202013-%20Bahasa%20version.pdf (diakses 5 Juni 2014)

_____. 2013. Laporan Monitoring dan Evaluasi Penanggulangan Kemiskinan DIY Tahun 2013. Yogyakarta: Bappeda DIY

Cahyadi, et.al. 2007. Evaluasi Daya Dukung Jalan Terhadap Mobilitas Pengguna Kendaraan Bermotor di Kota Yogyakarta. Makalah. Yogyakarta: Fakultas Geografi, UGM.

Faturochman dan Molo, Marcelinus Molo. 1994. Karakteristik Rumah Tangga Miskin di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Populasi, 5(1), 1994.

Paleba, Wiryo Hinoto. 2009. Pengaruh Kendaraan Luar Daerah Terhadap Beban Lalu Lintas Di Yogyakarta (Studi Kasus : Jl. Jendral Sudirman, Jl. Malioboro). Tesis. Yogyakarta: Universitas Atmajaya Yogyakarta. Dapat diakses dalam

 http://e-journal.uajy.ac.id/ 3070/ 3/ 2TS12084.pdf

Djohan, Djohermansyah. 2012. Kebijakan Desentralisasi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Di Indonesia.  Jurnal Pamong Praja, Volume I, Nomor 1 Tahun 2012 : 1-7.

Kumorotomo, Wahyudi. 2008. Desentralisasi Fiskal: Politik dan Perubahan Kebijakan 1974-2004. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Kumorotomo, Wahyudi. 2012. Agenda     Kebijakan        Desentralisasi  Fiskal   di Indonesia. Paparan. Uji Sahih  Draf    RUU   Hubungan     Keuangan      antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Yogyakarta: Magister Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada. 15 Mei 2012

Kumorotomo, Wahyudi (Prof. Dr. MPP). 2013. Materi Kuliah Manajemen dan Kebijakan Keuangan Publik. Yogyakarta: MAP UGM Kelas Bappenas Angkatan VIII, Semester II, pada 24 dan 30 Desember 2013.

Maipita, Indra et. al. 2010. Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Kinerja Ekonomi dan Angka Kemiskinan di Indonesia. Paper. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010.

Munir, Badrul. 2002. Perencanaan Pembangunan Daerah Dalam Perspektif Otonomi Daerah. Mataram: BAPPEDA Provinsi NTB dan GTZ Jerman.

Prastowo, Yustinus. 2014. Menyoal  Ketimpangan, Mendamba Kesejahteraan Refleksi Kebijakan Fiskal Indonesia. Paparan. Dialog Kebijakan dan Training Advokasi Ketimpangan. Yogyakarta: INFID, European Union dan Oxfam. 10-15 Februari 2014

Sujai, Mahpud. 2011. Kebijakan Fiskal Pemerintah Dalam Upaya Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Indonesia. Jurnal Pembangunan Manusia Vol.5 No.2 Tahun 2011.

Susilo, Y. Sri. 2013. Kemiskinan di DIY. Kedaulatan Rakyat 8 April 2013. Yogyakarta: Kedaulatan Rakyat.

Usman, Sinaga, Bonar M.  dan Siregar,  Hermanto Siregar. 2006. Analisis Determinan Kemiskinan Sebelum Dan Sesudah Desentralisasi Fiskal. E-Journal SOCA (Socio-Economic Of Agriculturre And Agribusiness). Vol. 6, No. 3 November 2006. Bali: Universitas Udayana. Dapat diakses melalui laman http://ojs.unud.ac.id/index.php/soca/article/viewFile/4164/3149 (diakses pada 10 Juni 2014).

 

Imam Karyadi Aryanto, SIP, MPA

Jabatan Perencana Muda

Kompleks Kepatihan, Danurejan, Yogyakarta
(0274)589583, (0274)557418
(0274)562811
(0274)586712
http://bappeda.jogjaprov.go.id
bappeda@jogjaprov.go.id

Kontak Kami

Silahkan Kirim Tanggapan Anda Mengenai Website Ini Atau Sistem Kami Saat Ini. Tanggapan Anda Sangat Membantu Untuk Meningkatkan Pelayanan Kami Kepada Masyarakat.Apabila terdapat kendala dalam menemukan informasi yang dicari dapat mengunjungi halaman FAQ