Artikel


  • Imam Budidharma, ST, M.Dev
  • 31 Desember 2016 - 14:05:26

PENGARUH PENGELUARAN KONSUMSI, STATUS KESEHATAN DAN MODAL SOSIAL TERHADAP TINGKAT KEBAHAGIAAN INDIVIDU

Abstrak

Kebahagiaan dewasa ini diangkat menjadi indikator pelengkap untuk menggambarkan kesejahteraan individu. Dalam konteks kehidupan demokrasi, opini masyarakat atas persepsi kebahagiaannya patut dihargai sebagai bahan ealuasi kinerja pembangunan. Hasil regresi menunjukan bahwa pengeluaran konsumsi, status kesehatan serta lama pendidikan  memiliki pengaruh yang positif terhadap kebahagiaan individu. Modal sosial yang didekati dengan tingkat kepercayaan terhadap tetangga, orang asing, petugas keamanan serta partisipasi dalam kegiatan masyarakat juga mempunyai pengaruh yang positif terhadap kebahagiaan individu. Namun demikian, sikap toleransi tidak sejalan dengan persepsi kebahagiaan individu. Jika dikelompokan berdasarkan usia, seiring dengan bertambahnya usia peran status kesehatan terhadap kebahagiaan semakin tinggi. Sebaliknya, pada saat memasuki usia lanjut, pengaruh pengeluaran konsumsi terhadap kebahagiaan tidak setinggi pada periode usia sebelumnya.

Kata Kunci: Kebahagiaan, Kesejahteraan, Modal Sosial

Pendahuluan

Kebahagiaan atau dalam istilah lain disebut dengan kesejahteraan subjektif (subjective well-being) atau kepuasan hidup (life satisfaction), dewasa ini menjadi salah satu ukuran yang digunakan untuk melengkapi indikator kesejahteraan objektif individu seperti tingkat pendapatan atau tingkat konsumsi. Kebahagiaan pada umumnya tidak menjadi arus utama dalam kajian ekonomi. Dalam perspektif ekonomi, kesejahteraan sering diturunkan dari fungsi utilitas atas konsumsi barang atau jasa. Menurut Frey dan Stutzer (2000), konsep kebahagiaan lebih luas dari konsep utilitas tersebut. Kebahagiaan memiliki cakupan yang lebih luas dengan memasukan utilitas pengalaman serta prosedural (Frey et al 2000). Tidak hanya apa yang dikonsumsi saat itu, namun juga bagaimana pengalaman di masa lampau (experience ulitity) serta proses pencapaian hasil yang diinginkan (procedural utility). Sementara itu . Diener et al (1999) menyebut kesejahteraan subjektif sebagai evaluasi kognitif dan emosional seseorang atas hidupnya. Evaluasi tersebut mencakup reaksi emosional terhadap suatu kejadian dan juga penilaian kognitif atas kepuasan kehidupan individu tersebut

Beberapa lembaga mulai menaruh minat terhadap pengukuran tingkat kebahagiaan individu seperti yang dilakukan oleh komisi  Sustainable Development Solutions Network  PBB melalui laporan World Happiness Report. Dalam survei tersebut, Indonesia menempati peringkat ke-79 dari 157 negara yang disurvei. Sementara itu, BPS juga melakukan survei tingkat kebahagiaan. Pada tahun 2014, dalam skala 0 sampai dengan 100, indeks kebahagiaan penduduk Indonesia mencapai 68,28. Dari hasil survei diklaim bahwa terjadi peningkatan indeks kebahagiaan dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai 65,11 poin. Menurut survei tersebut, aspek yang berkontribusi terhadap tingkat kebahagiaan adalah pendapatan rumah tangga, kondisi rumah dan aset serta status pekerjaan.

Masih dari hasil survei BPS tersebut di atas, indeks kebahagiaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dilaporkan lebih tinggi dari nilai rata-rata nasional. Temuan tersebut menjadi menarik terutama menjadi topik perdebatan ada tidaknya paradoks kebahagiaan di DIY. Capaian indikator kesejahteraan ekonomi DIY seperti tingkat kemiskinan dan pendapatan perkapita masih belum baik dibandingkan dengan rata-rata nasional. Capaian yang berbeda tersebut dengan sederhana sering diinterpretasikan dengan pendapat bahwa meskipun dalam kemiskinan tetap bahagia.

Beberapa penelitian menunjukan adanya perbedaan pendapatan tentang hubungan antara pendapatan dengan kebahagiaan. Easterlin (1974) menyimpulkan bahwa terdapat paradoks antara pendapatan perkapita dengan tingkat kebahagiaan. Dalam penelitian tersebut mengungkapkan bahwa, peningkatan dalam pendapatan di negara industri seperti Amerika Serikat tidak membuat seseorang menjadi lebih bahagia. Perbedaan hasil studi empiris ditunjukan oleh Diener et al (2001) dan Di Tella (2003) yang menemukan adanya pengaruh positif tingkat pendapatan terhadap tingkat kebahagiaan. Untuk kelompok negara miskin, tingkat pendapatan berpengaruh kuat terhadap tingkat kebagahiaan (Diener et al 2001).

Intepretasi dari indikator makro tidaklah cukup untuk menjelaskan hubungan antara tingkat pendapatan dengan kebahagiaan. Untuk menguji pengaruh faktor-faktor sosiekonomi terhadap kebahagiaan, dalam tulisan ini akan dilakukan eksplorasi terhadap data survei Indonesian Familiy Life Survey (IFLS). Data IFLS adalah data yang sangat kaya dan lengkap yang merupakan representasi lebih dari 80 persen populasi Indonesia. Dengan menggunakan model regresi, akan diulas seperti apa pengaruh ukuran kesejahteraan ekonomi, status kesehatan, modal sosial dan karakter demografi lainnya terhadap tingkat kebahagiaan. Meskipun ukuran kebahagiaan bersifat subjektif, dalam konteks kehidupan berdemokrasi, opini masyarakat atas evaluasi kehidupannya harus dihargai dan diperhatikan sebagai bagian penilaian kesuksesan kehidupan masyarakat.

 

Determinan Tingkat Kebahagiaan Individu

Faktor yang menentukan kebahagiaan menurut Frey dan Stutzer (2002) adalah demografi, ekonomi dan lingkungan politik. Faktor demografi yang berpengaruh antara lain karakter individu seperti usia, jenis kelamin dan kondisi keluarga, pendidikan dan kesehatan. Dalam faktor ekonomi, kondisi pengangguran, pendapatan dan inflasi dinilai berpengaruh terhadap kebagahiaan individu. Sementara itu kualitas demokrasi seperti sejauh mana kemungkinan warga negara berpartisipasi dalam politik dan derajat desentralisasi pemerintahan menjadi komponen utama kondisi linigkungan politik yang berpengaruh terhadap kebagahiaan.

Penelitian empiris tentang determinan kebahagian lebih banyak dilakukan di negara barat. Padahal terdapat keunikan dalam pembentuk kebahagiaan pada individu di negara timur yang memiliki karakteristik social ekonomi yang berbeda dengan negara-negara barat. Penelitian di negara barat lebih menekankan pada aspek individiualisme dan liberalisme sebagai konsep dasar kebahagiaan Sementara itu, beberapa penelitian yang telah dilakukan di negara asia timur menunjukan bahwa faktor kolektivitas sosial lebih berperan dalam pembentukan kebahagiaan individu di negara timur (Jaafar et al 2012).

Jaafar et al (2012) melakukan penelitian tentang faktor-faktor penentu kebahagiaan dengan sampel 202 warga negara Malaysia dan Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, keluarga menjadi faktor utama pembentuk kebahagiaan seseorang. Dari sejumlah responden asal Indonesia yang diamati, 28% menempatkan keluarga sebagai pembentuk utama kebahagiaan. Peringkat kedua adalah hubungan sosial dengan persentase 14%. Sementara itu, sebanyak 7,8% yang menyatakan kesehatan sebagai faktor utama pembentuk kebahagiaan. Dari temuan tersebut, Jaafar et al (2012) berpendapat bahwa kolektivitas sosial baik di tingkat keluarga maupun masyarakat menjadi penentu utama kebahagiaan orang Indonesia

Dengan menggunakan data survei yang lebih menggambarkan populasi Indonesia, Rahayu (2016) menemukan bahwa tingkat pendapatan, pendidikan, kesehatan dan beberapa ukuran modal sosial memiliki pengaruh positif terhadap tingkat kebahagiaan individu. Hubungan positif antara tingkat pendapatan baik yang bersifat absolut maupun relatif terhadap kebahagiaan menunjukan paradoks Easterlin tidak terjadi di Indonesia.

Analisis Regresi

Dalam tulisan ini untuk mengetahui determinan kebahagiaan individu akan digunakan data survei IFLS terbaru yaitu IFLS gelombang 5 yang merupakan hasil survei tahun 2014. Data IFLS adalah data yang sangat kaya dan lengkap yang merupakan representasi lebih dari 80 persen populasi Indonesia. Survey IFLS mencakup informasi mengenai karakteristik demografi individu, kondisi sosial dan ekonomi individu dan rumah tangga, kondisi kesehatan individu, modal sosial, kondisi infrastruktur tempat tinggal rumah tangga pada umumnya dan variabel lainnya.

Variabel outcome dalam tulisan ini adalah persepsi kebahagaiaan individu. Data tersebut diperoleh dari pertanyaan kuesioner IFLS “Mempertimbangkan keadaan saat ini, apakah Ibu/Bapak/Sdr. merasa bahwa Ibu/Bapak/Sdr. sangat bahagia, bahagia, tidak bahagia, atau sangat tidak bahagia?”. Ukuran tunggal kebahagiaan tersebut telah banyak digunakan dalam berbagai survei termasuk yang dilakukan oleh Eurobarometer Surveys dan The US General Surveys. Adapun respon jawaban dari responden akan bernilai 1 (satu) untuk sangat tidak bahagia hingga bernilai 4 (empat) untuk sangat bahagia.

Sementara itu, untuk variabel explanatory dari kebahagiaan digunakan variabel terkait dengan pengeluaran rumah tangga, karakteristik demografi individu, status kesehatan serta modal sosial. Pengeluaran rumah tangga untuk makanan dipilih sebagai proxy untuk ukuran kesejahteraan ekonomi. Ukuran pengeluaran lebih dipilih daripada ukuran pendapatan gaji atau upah karena jawaban untuk pengeluaran dipandang lebih objektif. Sementara itu untuk status kesehatan dipilih dua ukuran yaitu penilaian mandiri atas status kesehatan secara umum dan ukuran tingkat kesehatan mental.

Untuk aspek modal sosial akan digunakan respon jawaban atas pertanyaan terkait tingkat kepercayaan individu terhadap tetangga, orang asing, petugas keamanan dan tingkat penerimaan atas individu yang berbeda keyakinan serta tingkat partisipasi individu dalam kegiatan kemasyarakatan. Sementara itu variabel demografi yang menggambarkan karakteristik individu mencakup jenis kelamin, status pernikahan, status bekerja, usia, jumlah anggota keluarga dan lokasi tempat tinggal yaitu urban/rural.

Dalam tulisan ini digunakan model regresi linier untuk menyederhanakan analisis dan pembahasan dengan spesifikasi model sebagai berikut:

Tabel 4 merupakan hasil regresi  baik dengan menggunakan sampel untuk seluruh Indonesia maupun dengan menggunakan sampel khusus individu yang berlokasi di DIY dan Jawa Tengah. Tanda koefisien antara regresi dengan dua kelompok sampel tersebut memiliki kesamaan arah meskipun terdapat perbedaan signifikansi hasil. Hasil regresi menunjukan konsistensi dengan temuan penelitian sebelumnya. Pengeluaran rumah tangga untuk bahan makanan memiliki pengaruh yang positif terhadap tingkat kebahagiaan individu di Indonesia. Demikian halnya dengan status bekerja juga memberikan pengaruh positif. Seseorang yang bekerja memiliki tingkat kebahagiaan lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang tidak bekerja. Temuan ini menunjukan bahwa ukuran kesejahteraan ekonomi memiliki arah yang sejalan dengan tingkat kebahagiaan individu.

Tingkat kesehatan dan pendidikan memiliki pengaruh yang positif terhadap tingkat kebahagiaan. Semakin sehat kondisi individu, tingkat kebahagiaan juga semakin meningkat. Demikian halnya dengan lama pendidikan, semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin tinggi juga tingkat kebahagiaannya. Hasil ini menunjukan bahwa selain ukuran kesejahteraan ekonomi, pencapaian di bidang kesehatan maupun pendidikan memiliki andil juga dalam pembentukan tingkat kebahagiaan individu.

Temuan menarik lainnya adalah individu yang tinggal di kawasan urban memiliki tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi daripada yang tinggal di kawasan pedesaan. Ketersediaan layanan serta fasilitas amenitas diperkirakan menjadi penyebab individu di kawasan urban merasa lebih bahagia. Selain itu, individu yang menikah memiliki tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi dari pada individu yang tidak menikah atau cerai/duda/janda.

Tingkat kepercayaan (trust) terhadap tetangga, orang asing (stranger) maupun petugas keamanan memiliki hubungan yang positif dengan tingkat kebahagiaan individu. Meskipun dengan menggunakan sample set DIY dan Jawa Tengah, beberapa variabel tersebut tidak signifikan. Demikian halnya dengan partisipasi individu dalam kegiatan masyarakat juga berpengaruh positif terhadap tingkat kebahagiaan.

Meskipun sebagian besar komponen modal sosial menunjukan arah yang sejalan dengan tingkat kebahagiaan, tidak demikian halnya dengan sikap toleransi terhadap individu yang memiliki perbedaan keyakinan. Hubungan terbalik antara keragaman religiusitas dengan kebahagiaan juga ditemukan dalam penelitian Okulicz-Kozaryn (2010). Individu akan merasa kurang berbahagia tinggal di dalam lingkungan yang beragam. Penjelasan lainnya adalah adanya kekuatan mengikat (bonding) antara individu yang memiliki keyakinan yang sama. Adanya ikatan tersebut akan mengalahkan relasi yang bersifat menghubungkan (bridging) antara individu yang perbedaan keyakinan.

Implikasi Terhadap Kebijakan Publik

Pertanyaan selanjutnya apakah kebahagiaan individu menjadi bagian lingkup kebijakan publik? Seperti yang diungkapkan dalam bagian sebelumnya,  tingkat kebahagiaan individu berubah seiring dengan perubahan faktor-faktor sosioekonomi. Sementara itu, kebijakan publik yang diambil oleh pemerintah memiliki pengaruh terhadap faktor-faktor determinan kebahagiaan tersebut. Jika kebahagiaan menjadi ukuran kesejahteraan individu, maka intervensi terhadap peningkatan pendapatan rumah tangga tidaklah cukup. Hasil analisis menunjukan bahwa kebahagiaan juga dipengaruhi oleh faktor sosioekonomi lainnya seperti karakter demografi, pendidikan, status kesehatan dan modal sosial.

Terdapat perbedaan karakter antara kelompok usia yang tentunya memberikan dampak perbedaan intervensi kebijakan untuk masing-masing kelompok. Seperti yang ditunjukan dalam tabel 5, seiring dengan bertambahnya usia, pengaruh faktor kesehatan menjadi semakin berperan dalam pembentukan tingkat kebahagiaan dengan ditunjukan bertambahnya koefisien regresi untuk variabel tersebut. Proses penuaan sering diikuti dengan penurunan status kesehatan terutama kemampuan fisik tubuh dalam melakukan aktivitas kegiatan sehari-hari. Sebagai akibatnya, individu lanjut usia akan menempatkan kondisi kesehatan sebagai faktor penting dalam evaluasi kebahagiaannya.

Selain status kesehatan, seiring bertambahnya usia tingkat kepercayaan terhadap orang di sekitar juga mengalami peningkatan besaran pengaruhnya terhadap kebahagiaan. Sementara itu, berbeda dengan dua faktor sebelumnya, pengeluaran individu sebagai proxy untuk ukuran tingkat pendapatan (income) menunjukan pola yang berbeda. Koefisien untuk variabel pengeluaran konsumsi makanan justru mengalami penurunan pada kelompok data di atas 60 tahun.

            Easterlin (2002) mengungkapkan adanya tendensi bahwa seiring berjalannya siklus (periode usia) hidup seseorang, peningkatan pendapatan tidak diikuti oleh perubahan kebahagiaan seseorang. Dalam pandangan Easterlin, individu tidak sepenuhnya mencapai kebahagiaan yang diharapkan karena dirinya telah mengalami perubahan tingkatan ekspektasi kepuasan yang diinginkan akibat pengalaman konsumsi di masa lalu. Selain itu pada saat bersamaan, individu juga dihadapkan dengan perubahan lingkungan sosial. Individu lain pada saat bersamaan mengalami peningkatan pencapaian tingkat konsumsi. Dengan membandingkan antara kondisinya dan individu lain, seseorang akan merasa kepuasan yang dirasakan tidak sesuai dengan ekspektasinya. Menurut Easterlin hal ini mendorong individu untuk semakin mengejar konsumsi untuk mencapai tingkat kebahagiaan yang diharapkan. Namun hal tersebut tidak akan tercapai karena lagi-lagi kondisi lingkungan senantiasa berubah. Jebakan ini berdampak pada kesalahan alokasi sumber daya individu. Kualitas kesehatan serta relasi sosial atau keluarga misalnya akan terabaikan. Sebagai akibatnya, pada masa tua, individu akan dihadapkan pada kualitas kesehatan serta kualitas relasi keluarga/sosial yang kurang diharapkan.

            Untuk membantu individu agar tidak terjadi kesalahan alokasi sumber daya, pengambil kebijakan dapat mengembangkan program atau kegiatan yang mewadahi individu untuk mendapatkan status kesehatan dan kehidupan sosial yang lebih berkualitas. Hasil regresi menunjukan adanya pengaruh siginfikan kepercayaan (trust) dan partisipasi masyarakat terhadap tingkat kebahagiaan. Dengan demikian penciptaan ruang dan kesempatan bagi masyarakat untuk bertemu atau berinteraksi menjadi vital dalam upaya peningkatan kebahagiaan individu. Di sisi lain, tantangan yang dihadapi adalah isu keberagaman (diversity) yang masih memiliki hubungan terbalik dengan kebahagiaan. Ruang interaksi selain ditujukan untuk memperkuat hubungan internal anggota kelompok (bonding) diharapkan juga dapat meningkatkan interkasi antara etnis, agama atau kelompok berbeda lainnya (bridging).

 

Penutup

Pengeluaran konsumsi, status kesehatan serta lama pendidikan  memiliki pengaruh yang positif terhadap kebahagiaan individu. Selanjutnya, jika dilihat berdasarkan kelompok usia, faktor kesehatan memiliki peran yang semakin meningkat terhadap kebahagiaan seiring dengan bertambahnya usia. Sementara itu, modal sosial yang didekati dengan tingkat kepercayaan terhadap tetangga, orang asing, petugas keamanan serta partisipasi dalam kegiatan masyarakat juga mempunyai pengaruh yang positif terhadap kebahagiaan individu. Dengan demikian, penciptaan ruang interaksi bagi antara anggota masyarakat menjadi relevan sebagai upaya peningkatan kebahagiaan individu. Namun demikian, sikap toleransi tidak sejalan dengan persepsi kebahagiaan individu. Hal ini menjadi tantangan bagi pengambil kebijakan untuk mengelola keberagaman yang ada di dalam masyarakat.

 

Daftar Pustaka

Diener E, Suh E.M, Lucas R.E, dan Smith H.L. 1999. Subjective Well-Being: Three Decades of Progress. Psychological Bulletin, Volume 125, No 2, 276-302

Diener, E., dan Robert Biswas-Diener. 2001. Will Money Increase Subjective Well-being?. Social Indicators Research, 57(2):119-169.

Di Tella, R, MacCulloch, RJ dan Oswald, AJ. 2003. The Macroeconomics of Happiness. Review of Economics and Statistics 85(4): 809–27.

Easterlin, R.A. 1974. Does Economic Growth Improve The Human Lot? Some Empirical Evidence. Nations and Households in Economic Growth. New York. Academic Press.

Easterlin, R.A. 2003. Building a Better Theory of Well-Being. Discussion Paper IZA No 742.

Frey, B.S dan Stutzer, A. 2000. Maximising Happiness?. German Economic Review, Volume 1, Issue 2, 145–167.

Jaafara, JL, Idris MA, Ismuni, J, Fei, Y, Jaafar, S, Ahmad, Z, Arrif, MR, Takwin, B, Sugandi, YS. 2012. The Sources of Happiness to the Malaysians and Indonesians: Data from a Smaller Nation. Procedia - Social and Behavioral Sciences 65, 549 – 556.

Okulicz-Kozaryn, A. 2011. Does Religious Diversity Make Us Unhappy?. Mental Health, Religion & Culture, 14 (10): 1063–1076.

Rahayu, PR. 2016. The Determinants of Happiness in Indonesia. Mediterranean Journal of Social Sciences Vol 7 No 2

 

Imam Budidharma, ST, M.Dev

Jabatan Perencana Pertama

Kompleks Kepatihan, Danurejan, Yogyakarta
(0274)589583, (0274)557418
(0274)562811
(0274)586712
http://bappeda.jogjaprov.go.id
bappeda@jogjaprov.go.id

Kontak Kami

Silahkan Kirim Tanggapan Anda Mengenai Website Ini Atau Sistem Kami Saat Ini. Tanggapan Anda Sangat Membantu Untuk Meningkatkan Pelayanan Kami Kepada Masyarakat.Apabila terdapat kendala dalam menemukan informasi yang dicari dapat mengunjungi halaman FAQ