Artikel


  • Aris Widiyanto, S.Sos
  • 31 Desember 2015 - 15:42:43

IMPLEMENTASI PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN RESPONSIF GENDER (PPRG) SEBAGAI PERWUJUDAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DI DIY

                                                                                  Abstrak
Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG) merupakan sebuah instrumen untuk memperkecil kesenjangan partisipasi dan pemanfaatan hasil pembangunan antara perempuan dan laki-laki, sebagai upaya untuk mengarusutamakan gender dalam pembangunan demi mewujudkan pembangunan yang berkeadilan dan berkesetaraan gender dalam aspek akses, partisipasi, kontrol dan masyarakat. Beberapa regulasi telah diterbitkan, mengamanatkan pemerintah di semua level untuk mengimplementasikannya, termasuk di lingkup Pemerintah Daerah DIY. Perjalanan PPRG di DIY telah cukup panjang, antara lain dengan menerbitkan beberapa regulasi terkait PUG maupun PPRG. Namun regulasi-regulasi tersebut belum dapat diimplementasikan akibat beberapa faktor, diantaranya faktor Sumber Daya Manusia (SDM), faktor kebijakan/regulasi, dan faktor pendukung lainnya. Alternatif solusi yang ditawarkan antara lain melalui peningkatan kapasitas dan pemahaman aparatur, penguatan kelembagaan PUG, hingga peningkatan kesadaran masyarakat sendiri untuk semakin peduli dan responsif gender dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Kata kunci : Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG), Pengarusutamaan Gender (PUG), Peerencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG), pembangunan

1 Pendahuluan

Manusia diciptakan atas laki-laki dan perempuan yang secara kodrati memiliki ciri-ciri yang tidak bisa diubah atau dipertukaran. Ciri-ciri itulah yang disebut dengan seks. Seks lebih mengarah ke peran dan fungsi reproduksi yang berbeda antara laki-laki dan perempuan.
Dalam perkembanganya, seks dilekatkan atribut-atribut tertentu seperti : konstruksi sosial, budaya, ekonomi, politik, serta ideologi patriarkhi yang kemudian dikenal dengan gender. Gender diartikan sebagai konstruksi sosiokultural yang membedakan karakteristik maskulin dan feminim. Menurut Ann Oakley (Nugroho, 2011:3) gender merupakan perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial, yakni perbedaan yang bukan ketentuan Tuhan melainkan diciptakan oleh manusia (bukan kodrat) melalui proses sosial dan kultural yang panjang.
Gender mengakibatkan pembagian peran dan fungsi laki-laki atau perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Idealnya, ketergantungan antara kaum laki-laki dan perempuan ini merupakan prinsip dasar dari kemitraan dan keharmonisan dalam pencapaian kesetaraan gender. Namun dalam kenyataanya masih terdapat perilaku yang mengarah pada kesenjangan gender di segala bidang seperti stereotype, marjinalisasi, sub-ordinasi, dan tindak kekerasan.

Dalam menanggulangi kesenjangan gender, diperlukan affirmative action sebagai intervensi pemerintah untuk merumuskan kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan yang berperspektif gender. Secara spesifik, pemerintah telah mengintegrasikan perspektif gender ini ke dalam pembangunan melalui regulasi diantaranya Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional dan Permendagri Nomor 15 tahun 2008 yang diubah melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 67 Tahun 2011 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah. Dalam Permendagri Nomor 15 tahun 2008, yang disebut dengan Pengarusutamaan Gender (PUG) adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan di daerah. PUG ini dilakukan dengan mengintegrasikan perspektif (sudut pandang) gender ke dalam proses pembangunan di setiap bidang dalam mewujudkan pembangunan yang lebih adil dan merata bagi seluruh penduduk Indonesia.
Permasalahan yang sering mengemuka dalam pelaksanaan PUG adalah kebijakan pembangunan yang diambil seringkali hanya memperhatikan tugas dan fungsi instansi serta prioritas pembangunan, belum memperhatikan sasaran kelompok yang terlibat dan manfaat yang diterima oleh kelompok sasaran tertentu (netral gender). Komitmen Pemda DIY dalam mewujudkan pembangunan berwawasan gender di DIY diawali sejak tahun 2010 dalam bentuk Surat Edaran Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta nomor 463/0494 tanggal 17 Februari 2010 tentang penyusunan Anggaran Rensponsif Gender dan dikuatkan oleh SE Kepala Bappeda selaku Ketua Pokja PUG yang diterbitkan setiap tahun dalam rangka Percepatan Pelaksanaan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG). Beberapa regulasi tersebut kemudian dikuatkan kembali dengan Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2014 tentang Pedoman Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG).
Dalam implementasinya, pelaksanaan PUG dan PPRG di DIY dirasa masih belum optimal. Dalam tataran perencanaan, masih banyak SKPD di lingkungan Pemda DIY masih belum melaksanakan perencanaan dan penganggara yang responsif gender, sejauh ini baru sebagian kecil instansi di lingkungan Pemda DIY yang sudah melaksanakan perencanaan responsif gender. Untuk itu tulisan ini mencoba untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan PPRG di lingkup Pemda DIY.


2 Integrasi Pengarusutamaan Gender (PUG) Dalam Pembangunan Melalui Perencanaan Dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG)
Pembangunan gender ditujukan untuk meningkatkan Keadilan dan Kesetaraan Gender di suatu wilayah yang meliputi aspek akes, partisipasi, kontrol, dan manfaat yang setara di masyarakat. Gambaran pencapaian keadilan dan kesetaraan gender di suatu wilayah ditunjukkan melalui indikator Indeks Pembangunan Gender (IPG). Capaian IPG DIY tahun 2012 bisa dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 1 Capaian Indeks Pembangunan Gender (IPG) Menurut Komponen, Jenis Kelamin, dan Kabupaten/Kota DIY Tahun 2012

Komponen indikator IPG merupakan ukuran pencapaian kebutuhan dasar manusia yang sama dengan IPM, dengan memperhitungkan perbedaan pencapaian antara perempuan dan laki-laki. Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa walaupun capaian IPG DIY sudah relatif baik, tetapi masih terdapat kesenjangan yang cukup signifikan dalam tiap komponenya.
Pengintegrasian PUG dalam pembangunan menjadi sesuatu yang mutlak dalam rangka meminimalisir kesenjangan dalam masyarakat baik dalam aspek akses, partisipasi, kontrol, maupun manfaat pembangunan. Terbitnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 67 Tahun 2011, tentang Perubahan Atas Permendagri Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah, mewajibkan setiap daerah dalam menyusun kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan yang responsif gender dalam dokumen perencanaan melalui PPRG.
PPRG merupakan sebuah instrumen menjamin keadilan dan kesetaraan bagi laki-laki dan perempuan dalam aspek akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat pembangunan. Perencanaan ini dibuat dengan mempertimbangkan aspirasi, kebutuhan, permasalahan dan pengalaman perempuan dan laki-laki, baik dalam proses penyusunannya maupun dalam pelaksanaan kegiatan. Sehingga kebijakan anggaran disusun untuk mengakomodasi kebutuhan yang berbeda antara perempuan dan laki-laki.
Kerangka PPRG merupakan bagian dari subsistem pembangunan berbasis kinerja. Dalam merumuskan sebuah kebijakan, program, dan kegiatan dituntut adanya analisis situasi sehingga penentuan indikator output atau outcome yang terukur dan memperhatikan kebutuhan masyarakat sebagai sasaran program/kegiatan.
Kerangka kerja PPRG dalam siklus anggaran berbasis kinerja melalui 4 tahapan, yaitu :

1) Analisis Situasi, merupakan tahap dimana perencana kebijakan/program atau kegiatan akan melakukan analisis situasi untuk menilai adanya kesenjangan gender baik di tingkat masyarakat maupun pemerintah; 2) Perencanaan, perencanaan kebijakan/program atau kegiatan didasarkan pada analisis situasi yang telah dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi atau mengatasi kesenjangan gender yang terjadi;

3) Penganggaran, menyiapkan alokasi anggaran dengan memperhatikan prinsip anggaran kinerja, menyusun rincian anggaran yang dibutuhkan sebuah program/kegiatan; dan

4) Melakukan Pengukuran Kinerja, Untuk mengukur apakah sebuah program/kegiatan sudah responsif gender/belum, maka pengukuranya didasarkan pada indikator output dan outcome yang responsif gender yang sudah ditetapkan sebelumnya.
Berbagai upaya telah dilakukan Pemda DIY dalam mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender di DIY melalui Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG).
Dari sisi kebijakan dan regulasi, beberapa peraturan telah diterbitkan dari Pergub DIY Nomor 116 Tahun 2014 tentang Pedoman Perencanaan dan Penganggaran Gender (PPRG) sampai dengan beberapa Surat Edaran baik dari Gubernur maupun Kepala Bappeda selaku Kepala Pokja PUG yang intinya mengamanatkan bagi semua SKPD di lingkup Pemda DIY melakukan PPRG dalam perumusan kebijakan, program, dan kegiatan. Pemda DIY melalui Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat (BPPM) juga telah melakukan pelatihan dan pendampingan PPRG bagi semua SKPD.
Berbagai upaya di atas dalam kenyataanya tidak berbanding lurus dengan implementasi PPRG di DIY. Dalam tataran perencanaan, masih banyak SKPD di lingkungan Pemda DIY masih belum melaksanakan perencanaan dan penganggara yang responsif gender, sejauh ini baru sebagian kecil instansi di lingkungan Pemda DIY yang sudah melaksanakan perencanaan responsif gender. Beberapa faktor yang menjadi penyebab belum optimalnya pelaksanaan perencanaan dan penganggaran yang responsif gender antara lain adalah faktor Sumber Daya Manusia (SDM), faktor kebijakan, dan faktor-faktor pendukung lainnya.


3 Identifikasi Masalah
Faktor-faktor yang mempengaruhi belum optimalnya pelaksanaan PPRG di DIY disebabkan oleh faktor SDM, faktor kebijakan, dan faktor pendukung lainnya. Untuk memetakan akar masalah implementasi PPRG di DIY dapat dilihat dalam tabel berikut ini.

Tabel 2 Faktor-faktor Penyebab Belum Optimalnya Implementasi PPRG

Untuk memahami akar dari masalah-masalah tersebut, perlu dilihat kembali bagaimana perkembangan paradigma perempuan dalam pembangunan. Pemahaman akar masalah akan membantu membidik penentuan kebijakan yang tepat untuk mengatasinya. Sejak terbitnya Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan secara khusus memasukkan 26 program yang responsif gender yang tersebar di berbagai sektor, paradigma pembangunan Indonesia mengalami sebuah pergeseran penting ke arah pembangunan yang meletakkan kesetaraan gender pada intinya (mainstream).
Namun demikian, dengan adanya pergeseran paradigma tersebut tidak serta merta menyelesaikan permasalahan inti dari relasi perempuan dan laki-laki yakni ketimpangan gender menjadi selesai. Hal ini dikarenakan pemahaman konsep dan praktis dari Pengarusutamaan Gender sendiri masih beragam. Decision maker dan masyarakat masih cenderung mendefinisikan PUG sebagai program-program terkait perempuan semata.
Aprilina (2015 : 169) menyebutkan bahwa Indonesia masih berada dalam tahap transisi paradigma Gender and Development (GAD) ke paradigma Gender Mainstreaming (GM), dimana satu kakinya melangkah dengan mantap dan pasti pada area Gender Mainstreaming mengikuti tuntutan masyarakat global tetapi ujung kakinya yang satu masih tertinggal di area Gender and Development. PUG masih dimaknai sebagai pemberdayaan dan perlindungan perempuan saja, belum pada definisi PUG sebagai strategi untuk mencapai kesetaraan dan keadilan bagi setiap orang, laki-laki dan perempuan. Hal ini bisa dilihat bahwa di lingkup pemerintah, pembangunan gender masih dianggap menjadi tugas dari instansi yang membawahi urusan perempuan belum menjadi arusutama pada pembangunan di semua sektor. Dapat diambil kesimpulan bahwa belum optimanya implementasi PPRG di lingkup pemerintah, khususnya Pemda DIY terkait dengan mind set (pola pikir) dan komitmen aparat. Faktor kebijakan otomatis akan terselesaikan apabila masalah SDM telah teratasi demikian pula dengan masalah pada faktor pendukung. Kondisi ini menyisakan banyak “pekerjaan rumah” yang harus dilakukan untuk menjamin tercapainya keadilan dan kesetaraan gender di DIY.


4 Rekomendasi
Dari beberapa permasalahan yang telah dipetakan, diperlukan beberapa perbaikan dalam implementasi PPRG untuk mewujudkan pembangunan yang berkeadilan dan berkesetaraan gender dalam aspek akses, partisipasi, kontrol dan masyarakat. Rekomendasi program/kegiatan dlm implementasi PPRG antara lain :
1. Peningkatan Kapasitas dan Pemahaman Aparatur
Permasalahan utama pengarusutamaan gender dalam pembangunan adalah kurang sensitifnya aparat dalam menemukenali isu gender dalam berbagai sektor pembangunan yang kemudian dirumuskan menjadi kebijakan, program, dan kegiatan yang responsif gender. Solusi bagi masalah SDM tentu saja adalah berbagai program dan kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas aparatur terkait PUG dan PPRG.
2. Penguatan komitmen dalam pelaksanaan regulasi dan kebijakan pengarusutamaan gender dalam pembangunan
Regulasi yang sudah diterbitkan dirasakan masih belum mengikat para pemangku kebijakan di tingkat SKPD dalam melakukan PPRG, sehingga PPRG masih dianggap sebagai pekerjaan sampingan dan belum menjadi kebutuhan. Selain advokasi dimungkinkan adanya mekanisme reward and punishment dari pimpinan (top down) untuk melaksanakan PPRG misal menjadikan dokumen analisis gender sebagai salah satu komponen penilaian kinerja instansi atau semisal dari sisi legislatif mensyaratkan pembahasan anggaran disertai dengan dokumen analisis gender.
3. Penguatan Kelembagaan PUG
Pokja PUG DIY dan Gender Fokal Point yang sudah dibentuk di masing-masing SKPD kurang berjalan optimal. Perlu disusun semacam roadmap PPRG yang didalamnya memuat sasaran dan dan tahapan kegiatan beserta targetnya. Roadmap ini akan memberikan acuan kepada Pokja dan stakehoder terkait dalam menentukan kegiatan yang responsif gender. Selain itu, peran Gender Fokal Point di masing-masing SKPD perlu direvitalisasi melalui “penyegaran” pemahaman dan update informasi terkait pembangunan gender dengan harapan akan menjadi “corong” PPRG di masing-masing SKPD.
4. Penyediaan instrumen pendukung analisis gender (data pilah gender) di semua sektor pembangunan
Dalam melakukan analisis gender untuk merumuskan kebijakan, program, dan kegiatan yang responsif gender diperlukan data pilah gender di masing-masing sektor pembangunan. Manfaat dari tersedianya data pilah gender adalah :

a) mengindentifikasi perbedaan (kondisi/kemajuan/perubahan) keadaan perempuan dan laki-laki berdasarkan tempat dan waktu yang berbeda;

b) Melihat hasil dari intervensi pembangunan terhadap masyarakat, baik perempuan dan laki-laki berdasarkan akses, partisipasi, kontrol, manfaat dan dampak;

c) Sebagai informasi yang dibutuhkan bagi semua yang bekerja untuk mewujudkan kesetaraan gender;

d) guna mengidentifikasi masalah, membangun opsi dan memilih opsi yg paling efektif untuk kemaslahatan perempuan dan laki-laki.
5. Peningkatan kesadaran masyarakat terhadap keadilan dan kesetaraan gender dalam pembangunan.
Masyarakat sebagai penerima manfaat pembangunan terkadang juga belum sadar apakah hasil dari pembangunan sudah mengakomodir kebutuhan keseluruhan kelompok dalam masyarakat. Di era teknologi informasi ini, keberadaan berbagai media sangat memungkinkan untuk mempertemukan suara dan gerakan masyarakat dengan pemerintah sebagai pelayanan masyarakat. Peluang ini bisa dimanfaatkan untuk mengedukasi masyarakat untuk menemukenali dan berpartisipasi dalam pembangunan yang responsif gender. Jika disesuaikan dengan konteks Keistimewaan DIY, sosialisasi terkait PUG dan PPRG dapat juga dilakukan dengan memanfaatkan dana keistimewaan yang dikemas melalui kesenian DIY.


5 Daftar Rujukan
Aprilina, Dyah Wahyu, 2015 : Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Kualitas Sumber Daya Manusia (Studi Analisis Isi UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dan UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional), Tesis, Magister Administrasi Publik, UGM
Heroe, Hertomo dkk, 2010 : Pedoman Teknis Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender bagi Daerah, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI
Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional
Kegunaan Data Pilah Gender, diakses dari : http://lppm.uns.ac.id/Panduan%20Pendidikan%20Berprespektif%20Gender/index.php?option=com_content&view=article&id=107, tanggal 30 November 2015.
Nugroho, Riant, 2002 : Gender dan Strategi Pengarusutamaanya di Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar
Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2014 tentang Pedoman Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG)
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 67 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah
Surat Edaran Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta nomor 463/0494 tanggal 17 Februari 2010 tentang Penyusunan Anggaran Rensponsif Gender.

 

Aris Widiyanto, S.Sos

Jabatan Perencana Pertama

Kompleks Kepatihan, Danurejan, Yogyakarta
(0274)589583, (0274)557418
(0274)562811
(0274)586712
http://bappeda.jogjaprov.go.id
bappeda@jogjaprov.go.id

Kontak Kami

Silahkan Kirim Tanggapan Anda Mengenai Website Ini Atau Sistem Kami Saat Ini. Tanggapan Anda Sangat Membantu Untuk Meningkatkan Pelayanan Kami Kepada Masyarakat.Apabila terdapat kendala dalam menemukan informasi yang dicari dapat mengunjungi halaman FAQ