Artikel


  • Aris Widiyanto, S.Sos
  • 31 Desember 2014 - 13:55:15

KESIAPAN INTEGRASI JAMINAN KESEHATAN SEMESTA (JAMKESTA) DIY KEDLM SISTEM JAMINAN KESEHATAN NASIONAL

Abstrak

Pelaksanaan pengelolaan sistem jaminan sosial nasional, berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional telah dibentuk badan hukum yang disebut dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). BPJS yang dimaksudkan dalam undang-undang tersebut adalah BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan bertugas untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan, sedangkan BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. Pelaksanaan BPJS kesehatan lebih awal yaitu seketika ditetapkan pada tanggal 1 Januari 2014.

Dalam Peta Jalan Sistem Jaminan Sosial Nasional ditetapkan bahwa pencapaian pencapaian universal coverage jaminan kesehetan akan tercapai di tahun 2019. Tahapan pencapaian universal coverage jaminan kesehatan nasional 2012 diawali dengan integrasi kepesertaan dari beberapa program jaminan kesehatan ke dalam BPJS Kesehatan (Jamkesmas, JPK Jamsostek, Askes, dan peserta TNI/Polri), Integrasi PJKMU/Jamkesda di daerah ke dalam BPJS Kesehatan, dan perluasan kepesertaan di kelompok pemberi kerja dan mandiri.

Khusus untuk integrasi Jamkesda proses integrasi ke BPJS Kesehatan harus selesai dalam dua tahun semenjak BPJS Kesehatan resmi dijalankan mulai 1 Januari 2014. Sesuai dengan UU SJSN dan UU BPJS, penyelenggaraan jaminan kesehatan hanya dikelola oleh BPJS yang ditetapkan oleh Undang-Undang yang dalam hal ini adalah BPJS Kesehatan. Oleh karena itu ke depan penyelenggaraan jaminan kesehatan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah perlu diintegrasikan ke BPJS Kesehatan.

Kesiapan Pemda DIY dalam integrasi jamkesta DIY ke dalam BPJS JKN perlu dilihat dari beberapa aspek antara lain : kepesertaan, kelembagaan, kemampuan keuangan daerah, dan sarpras kesehatan yang ada di DIY.

Kata Kunci : Jaminan Kesehatan Semesta

1 Pendahuluan

Pembangunan sumberdaya manusia merupakan investasi penting dalam keberhasilan pembangunan sebuah bangsa, yang salah satu unsur pendukung pembangunan sumberdaya manusia tersebut  adalah pembangunan di sektor kesehatan. Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan menyebutkan bahwa pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis. Untuk mencapai tujuan tersebut, warga negara memiliki hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan dan memperoleh jaminan dan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau.

Jaminan kesehatan adalah hal yang penting sebagai perlindungan atas resiko yang mengancam kesehatan. Hal ini telah ditegaskan melalui UU Nomor 40 tahun 2004 dimana disebutkan bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak dan meningkatkan martabatnya menuju terwujudnya masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur. Tujuan dari penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah untuk memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya dengan prinsip kegotong-royongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dan hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta.

Ruang lingkup jaminan sosial sangat luas, antara lain meliputi adanya jaminan pendidikan, kesehatan, kematian, PHK, kecelakaan kerja, kecelakaan diri dan masih banyak lagi macam ragamnya, yang menjamin kesinambungan ekonomi/penghasilan seseorang meskipun terjadi suatu resiko pada dirinya.[1]

Pelaksanaan pengelolaan sistem jaminan sosial nasional, berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional telah dibentuk badan hukum yang disebut dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). BPJS yang dimaksudkan dalam undang-undang tersebut adalah BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan bertugas untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan, sedangkan BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. Pelaksanaan BPJS kesehatan lebih awal yaitu seketika ditetapkan pada tanggal 1 Januari 2014.[2]

 

[1] Ghufron Mukti, Ali dan Moertjahjo, Sistem Jaminan Kesehatan : Konsep Desentralisasi Terintegrasi, PT. Karya Husada Mukti, Yogyakarta, hlm. 23

[2] Peta Jalan Jaminan Kesehatan Nasional 2012-2019

Gambar 1 Peta Jalan Menuju Universal Coverage Jaminan Kesehatan Nasional

Unsur utama dalam pencapaian universal coverage jaminan kesehatan nasional di tahun 2019 adalah kepesertaan. Tahapan pencapaian universal coverage jaminan kesehatan nasional 2012 diawali dengan integrasi kepesertaan dari beberapa program jaminan kesehatan ke dalam BPJS Kesehatan (Jamkesmas, JPK Jamsostek, Askes, dan peserta TNI/Polri), Integrasi PJKMU/Jamkesda di daerah ke dalam BPJS Kesehatan, dan perluasan kepesertaan di kelompok pemberi kerja dan mandiri.

Khusus untuk integrasi Jamkesda/PJKMU proses integrasi ke BPJS Kesehatan harus selesai dalam dua tahun semenjak BPJS Kesehatan resmi dijalankan mulai 1 Januari 2014. Sesuai dengan UU SJSN dan UU BPJS, penyelenggaraan jaminan kesehatan hanya dikelola oleh BPJS yang ditetapkan oleh Undang-Undang yang dalam hal ini adalah BPJS Kesehatan. Oleh karena itu ke depan penyelenggaraan jaminan kesehatan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah perlu diintegrasikan ke BPJS Kesehatan.

Selanjutnya bagaimana kesiapan Pemda DIY dalam upaya integrasi ke dalam Jaminan Kesehatan Nasional? Tulisan ini dimaksudkan untuk melihat kesiapan Pemda DIY untuk mengintegrasikan kedalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional.

2 Kebijakan Pembangunan Kesehatan DIY

Pelaksanaan sistem jaminan kesehatan di DIY tidak terlepas dari kebijakan pembangunan kesehatan di DIY. Pada dasarnya kebijakan pembangunan kesehatan di DIY adalah memberikan kemudahan akses terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas dan melindungi masyarakat dari resiko penyakit. Hal ini telah tercantum dalam beberapa dokumen perencanaan pembangunan DIY

Kebijakan pembangunan kesehatan DIY tercantum dalam misi kesatu RPJMD 2012-2017 yaitu mewujudkan peningkatan derajat kualitas hidup masyarakat dengan sasaran harapan hidup meningkat yang dijabarkan dalam indikator sasaran dan program/kegiatan. Strategi yang ditempuh dalam pencapaian tujuan dan sasaran tersebut adalah dengan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat secara adil dan merata, agar hidup dalam lingkungan sehat, serta berperilaku hidup bersih dan sehat.

Pembangunan jaminan kesehatan DIY juga telah diamanatkan oleh Gubernur DIY pada saat pidato pelantikan Gubernur DIY masa bakti 2012-2017. Renaissance kesehatan DIY diarahkan pada peningkatan kualitas dan aksesibilitas kesehatan bagi masyarakat miskin, hidup dalam lingkungan sehat, berperilaku hidup bersih dan sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata. Renaissance kesehatan khususnya di bidang jaminan sosial ditunjang dengan penciptaan sistem jaminan pelayanan kesehatan terintegrasi dan pengembangan program asuransi universal coverage dengan kepemilikan ‘Kartu Sehat’ bagi masyarakat miskin untuk memudahkan mereka dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang layak dan murah.

3 Integrasi Jamkesta DIY Ke Dalam Sistem Jaminan Kesehatan Nasional

3.1 Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal

Untuk persiapan integrasi jamkesta DIY ke dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) perlu diidentifikasi peluang dan ancaman yang dimiliki dan dihadapi oleh Pemda DIY dan masyarakat baik dari faktor internal maupun eksternal.

Faktor Internal dilakukan dengan menganalisis sumberdaya (input/potensi), strategi yang digunakan sekarang (proses) dan kinerja (output). Faktor internal berupa faktor yang memudahkan (Strengths-S) dan faktor yang menyulitkan (Weakness-W). Sedangkan faktor eksternal dilakukan dengan mengeksplorasi lingkungan di luar Pemda DIY untuk mengidentifikasi faktor yang memudahkan (Opportunities-O) dan faktor yang menyulitkan (Threats-T). Faktor-faktor tersebut antara lain :

3.2 Identifikasi Faktor Internal (Kekuatan dan Kelemahan)

3.2.1 Kekuatan

a. Kebijakan dan Regulasi

Pemda DIY berinisiatif untuk mengintegrasikan sistem jaminan kesehatan di DIY. Melalui Peraturan Gubernur DIY Nomor 19 Tahun 2011 tentang Sistem Jaminan Kesehatan (Jamkesta) yang selanjutnya telah diubah dengan Peraturan Gubernur DIY Nomor 1 Tahun 2014. Dalam peraturan gubernur tersebut disebutkan bahwa maksud diselenggarakannya  Jamkesta  sebagai upaya untuk sinkronisasi, koordinasi, dan sinergi menuju integrasi antara  Pemerintah,  Pemerintah  Provinsi dan  Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pengembangan dan penyelenggaraan program jaminan kesehatan guna memberikan jaminan pemeliharaan kesehatan kepada masyarakat.

Keberpihakan Pemda DIY bagi penyandang disabilitas dari sisi pelayanan jaminan kesehatan diwujudkan dalam Peraturan Gubernur Nomor 51 Tahun 2013 tentang Sistem Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Khusus bagi Penyandang Disabilitas menyelenggarakan program jaminan kesehatan bagi penyandang disabilitas yang dikenal dengan Jaminan Kesehatan Khusus (Jamkesus). Sasaran penerima jamkesus adalah para penyandang disabilitas yang selain diberikan jaminan kesehatan umum, peserta juga diberikan paket manfaat berupa bantuan alat bantu bagi penyandang disabilitas

b. Kelembagaan

Dalam pengelolaan sistem jaminan kesehatan di provinsi, sejak tahun 2008 Pemda DIY membentuk unit pengelola yang berbentuk UPT Bapel. Hal ini diharapkan lebih memberikan kewenangan dalam pengambilan kebijakan program dan implementasi teknis sistem jaminan kesehatan dengan tujuan memberikan pelayanan maksimal kepada masyarakat.

Sedangkan untuk pengelolaan keuanganya, Bapeljamkesos telah menyesuaikan pola pengelolaanya dengan pola pengelolaan keuangan sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Sehingga diharapkan pada saat integrasi dengan JKN, telah sinkron dengan pengelolaan keuangan JKN

c. Sarana Pelayanan Kesehatan

Dalam memberikan pelayanan yang baik, rumah sakit harus memiliki sistem manajemen yang baik pula. Salah satu indikator pelayanan rumah sakit adalah Bed Occupancy Ratio (BOR). BOR berfungsi untuk mengetahui seberapa jauh RS digunakan oleh masyarakat dan seberapa jauh masyarakat menggunakan pelayanan rawat inap. Pelayanan rumah sakit dikatakan efisien apabila angka BOR antara 75%-85%. Data BOR rumah sakit di DIY menunjukkan angka 48,3% dari semua kelas tempat tidur rumah sakit. Jumlah penduduk DIY pada tahun 2011 mencapai 3.487.325 jiwa. Jumlah RS pemerintah dan swasta sebanyak 66 buah, dengan BOR masih tergolong rendah yaitu 48,3 %. Standar angka ratio tempat tidur dibanding penduduk adalah 1 : 1000, sehingga dengan demikian dibutuhkan sebanyak 3.487 TT, data yang ada menunjukkan bahwa di DIY sudah mempunyai 5.950 TT. Dengan demikian di DIY jumlah tempat tidur di rumah sakit dirasa sudah cukup terpenuhi.[1] Berikut adalah tabel ketersediaan rumah sakit, jumlah tempat tidur, dan BOR menurut kabupaten/kota di Yogyakarta:

 

[1] Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) DIY 2012-2017, hlm II-81

Tabel 1      Jumlah Rumah Sakit, Tempat Tidur, dan BOR Berdasarkan Kabupaten/Kota di DIY Tahun 2012

d. Sistem dan Sarana Prasarana Pendukung

Dalam level implementasi teknis sistem jaminan kesehatan semesta (jamkesta) DIY, diperlukan beberapa sistem dan sarana prasarana pendukung yang memadai. Hal ini selain akan memperkuat pelayanan kesehatan dan jaminan kesehatan, juga sebagai bagian penguatan saat integrasi dengan sistem JKN.

Melalui Pergub 59 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan, Pemda DIY berupaya memberikan pedoman pengaturan sistem rujukan yang dilakukan secara berkesinambungan, efektif, dan efisien. Penataan sistem rujukan ini diharapkan agar masyarakat memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan tingkat kebutuhan masing-masing individu yang dimaksudkan untuk meminimalisir ketidaktepatan tingkat pelayanan di fasilitas pelayanan kesehatan yang menyebabkan biaya tinggi di dalam pemeliharaan kesehatan. Hal ini akan mendukung pelaksanaan sistem jaminan kesehatan dalam hal pengendalian mutu dan biaya.

Selain itu, pada tahun 2013, Bapeljamkesos telah mengembangkan sebuah sistem aplikasi berbasis internet yang difungsikan untuk mengintegrasikan sistem jamkesta dalam hal pelayanan antara penyedia layanan kesehatan dengan bapeljamkesos.

Sistem aplikasi ini dibangun untuk mendukung manajemen bapeljamkesos dalam menerima, mengolah, dan mengelola sistem jaminan kesehatan semesta (jamkesta) secara baik dan sistematis yang terdiri dari : sistem pemrosesan transaksi, sistem pengendalian manajemen, dan sistem pengambilan keputusan. Selain meningkatkan kinerja pelayanan bapeljamkesos, sistem aplikasi ini juga menyederhanakan mekanisme pelayanan yang akan lebih memudahkan klien dalam pengajuan klaim.

3.2.2 Kelemahan

A. Validitas Kepesertaan

Berdasarkan data BPS, jumlah penduduk DIY tahun 2010 sejumlah 3.457.491 jiwa. Dari data jumlah penduduk tersebut, penduduk DIY yang memiliki jaminan kesehatan melalui program pemerintah (JKN, jamkesos DIY, dan jamkesda kabupaten/kota) sejumlah 3.178.087 jiwa atau 89,03% penduduk.

Jumlah tersebut belum termasuk penduduk yang memiliki jaminan kesehatan komersial. Hal ini menunjukkan bahwa DIY hampir seluruh penduduk DIY telah memiliki jaminan kesehatan. Berikut adalah data jumlah kepesertaan jaminan kesehatan di DIY melalui program jaminan kesehatan pemerintah tahun 2014 :

Tabel 2      Jumlah Penduduk DIY yang Menjadi Peserta Program Jaminan Kesehatan Pemerintah Tahun 2014

Apabila dilihat dari data kepesertaan jaminan kesehatan di DIY (minus peserta jaminan kesehatan komersil),  penduduk DIY yang belum memiliki jaminan sekitar 10,93%.  Dari 10,93% penduduk DIY yang belum memiliki jaminan kesehatan tersebut diasumsikan sebagai masyarakat yang mampu untuk mendapatkan jaminan kesehatan dengan iuran mandiri atau asuransi komersil. Artinya dapat diasumsikan bahwa seluruh penduduk miskin dan tidak mampu di DIY telah memiliki jaminan kesehatan.

Tetapi dalam kenyataanya masih terdapat masyarakat miskin dan kurang mampu yang belum memiliki jaminan kesehatan. Hal ini dikarenakan data kepesertaan yang masih kurang valid. Masih terdapat data yang tidak sesuai seperti : meninggal, pindah alamat, maupun kepesertaan ganda jaminan kesehatan.

B. Kemampuan Keuangan Daerah

Hal lain  yang menjadi tantangan integrasi jamkesta ke dalam JKN adalah kesiapan penganggaran pembayaran premi kepesertaan. Pemerintah pusat melalui APBN hanya membayarkan premi peserta yang terdaftar dalam PBI JKN, sedangkan untuk membayar iuran premi peserta non PBI JKN terdapat selisih yang lebih besar dari premi PBI JKN. Hal ini akan menambah beban pemerintah daerah dalam hal pembiayaan.

C. Koordinasi Lintas Sektor Masih Kurang Optimal

Pelaksanaan program jaminan kesehatan memerlukan sinergitas lintas sektor dan lintas program. Selama ini koordinasi lintas sektor dirasa masih kurang optimal di dalam mengawal program jaminan kesehatan.

D. Penyediaan Tenaga Kesehatan Yang Berkualitas dan Merata

Penyediaan tenaga kesehatan yang berkualitas menjadi tantangan bagi pemda DIY dalam rangka integrasi dengan JKN. Permasalahan tenaga kesehatan di DIY bukan dari sisi ketersediaan tetapi lebih pada persebaran. Terdapat kesenjangan antar kabupaten/kota terkait jumlah tenaga kesehatan terutama untuk dokter spesialis.

Tabel 3      Distribusi Kesehatan di DIY Berdasarkan Kabupaten/Kota Tahun 2012

3.3 Identifikasi Faktor Eksternal

3.3.1 Peluang

A. Sarana Pelayanan Kesehatan Yang Memadai dan Accesible

Hasil survey Dinas  Kesehatan, menunjukkan bahwa lebih dari 80% penduduk DIY hanya berjarak 1-5 km terhadap puskesmas dan lebih dari 70% penduduk hanya berjarak 1-5  km terhadap rumah sakit dan dokter praktek swasta. Tidak ditemukan penduduk yang memiliki jarak tempuh lebih dari 10 km terhadap sarana pelayanan puskesmas, dokter praktek swasta dan bidan, yang menunjukkan mudahnya akses jarak jangkauan penduduk terhadap  sarana pelayanan.  Aksesibilitas jarak jangkauan terhadap sarana pelayanan kesehatan cukup merata antar kabupaten kota. Penduduk DIY di setiap Kabupaten / Kota pada umumnya berada pada kisaran 1-5 km terhadap Puskesmas.

B. Sarana pelayanan kesehatan yang bekerjasama dengan jamkesta telah menerapkan standar paket layanan yang sama dengan JKN

Seluruh sarana pelayanan kesehatan yang bekerjasama dengan jamkesta DIY telah menerapkan standar paket layanan Indonesia Case Based Groups (INA CBGs). Paket INA CBGs adalah INA-CBG’s adalah suatu sistem klasifikasi secara teratur data pasien tentang karakteristik pasien, pelayanan, dan pemberi layanan yang diklasifikasi menjadi kelompok-kelompok pasien yang secara klinis bermakna dan secara ekonomi homogen.

3.3.2 Ancaman

A. Meningkatnya Kasus Penyakit Katastropik

Data Riset Kesehatan Dasar 2013 menunjukkan peningkatan kasus penyakit katastropik di DIY. Penyakit-penyakit katastropik seperti penyakit jantung, diabetes melitus, dan kanker menempati rangking 10 besar nasional. Penyakit tersebut memerlukan pembiayaan yang besar, sehingga kepemilikan jaminan kesehatan menjadi hal penting sebagai bentuk perlindungan sosial.

B. Paket manfaat JKN dari sisi preventif kurang menjadi prioritas

Manfaat yang diterima setiap peserta JKN bersifat pelayanan kesehatan perorangan meliputi promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif termasuk pelayanan obat dan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan medis yang diperlukan.

Manfaat pelayanan promotif dan preventif meliputi : 1) Penyuluhan kesehatan perorangan, 2) Imunisasi dasar, 3)  Keluarga berencana dan skrining kesehatan. Pelayanan skrinning kesehatan diberikan secara selektif  yang ditujukan untuk mendeteksi risiko penyakit dan mencegah dampak lanjutan dari risiko penyakit tertentu. Artinya pelayanan skrinning kesehatan diberikan masih terbatas pada penyakit tertentu setelah diindikasi gejala penyakit untuk mencegah dampak lanjutan dari penyakit tertentu.

C. Belum Semua Sarana Pelayanan Kesehatan Yang Bekerjasama dengan JKN

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan DIY, Jumlah Rumah Sakit yang ada di DIY sebanyak 66 unit dan Puskesmas 121 unit. Dari jumlah tersebut baru 42 Rumah sakit dan 112 Puskesmas yang sudah bekerjasama dengan BPJS JKN (www.bpjs-kesehatan.go.id)

Faktor-faktor tersebut dijabarkan dalam matriks analisi SWOT adalah sebagai berikut :

Tabel 4      Matriks Analisis SWOT Integrasi Jamkesta Kedalam JKN

3.4 Saran Tindak Lanjut Upaya Integrasi

Melihat dari peluang dan tantangan diatas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam rangka integrasi Jamkesta ke dalam JKN. Beberapa permasalahan terkait kepesertaan menjadi isu utama selain isu lain yang juga harus disikapi dalam rangka integrasi jamkesta  ke dalam JKN. Langkah-langkah yang perlu dipersiapkan antara lain :

Tabel 5      Matriks Penentuan Strategi Integrasi Jamkesta Kedalam JKN

A. Verifikasi dan Validasi Data

Pemecahan permasalahan data kepesertaan merupakan langkah awal proses integrasi Jamkesta ke dalam JKN. Data terpadu yang telah diverifikasi dan divalidasi tersebut dirinci berdasarkan kabupaten/kota.

Berdasarkan Peraturan Menteri Sosial Nomor 147/HUK/2013 tentang Penetapan Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan, perubahan kepesertaan dilakukan melalui mekanisme updating data yang dilaksanakan secara berkala setiap 6 bulan dengan dengan jumlah kuota yang sama dengan kuota yang telah ditetapkan.

Dasar tersebut menjadi peluang bagi pemerintah daerah dalam membenahi basis data kepesertaan. Selain lebih tepat sasaran, basis data yang valid akan lebih meringankan pemerintah daerah dari sisi penganggaran. Hal ini dikarenakan penggantian peserta yang tidak memenuhi syarat berdasarkan mekanisme verifikasi, akan digantikan dengan peserta jamkesta DIY. Artinya terdapat pengurangan beban penganggaran APBD dari pembiayaan peserta jamkesta.

B. Kebijakan Penganggaran

Integrasi kepesertaan jamkesta ke dalam JKN BPJS membawa konsekuensi pada penganggaran APBD. Masyarakat miskin yang tidak masuk dalam kepesertaan PBI JKN wajib disertakan dalam program JKN mandiri. Terdapat selisih premi antara PBI JKN dengan program PBI jamkesta. Hal ini perlu disikapi dengan memberikan altenatif-alternatif kebijakan dalam upaya integrasi yang lebih efektif dan efisien dari sisi penganggaran.

Skema yang ditawarkan adalah dengan membayar penuh premi JKN mandiri bagi masyarakat kurang mampu yang tidak terdaftar sebagai peserta PBI JKN atau Pemda DIY memberikan subsidi premi JKN mandiri dengan besaran sesuai dengan premi PBI jamkesta dan kekuranganya menjadi tanggungan masyarakat tersebut.

C. Peningkatan Pelayanan Kesehatan dan Sistem Jaminan Kesehatan

Pembayaran klaim JKN didasarkan pada diagnosa penyakit yang sesuai dengan jenjang sarana pelayanan. Hal ini menuntut tersedianya sistem rujukan yang baik dan ditunjang sarana prasarana kesehatan yang memadai. Penyediaan tenaga kesehatan yang berkualitas dan merata juga merupakan hal yang tidak kalah penting dalam persiapan integrasi.

Tuntutan masyarakat dalam pelayanan yang lebih efektif dan berkualitas harus direspon oleh penyelenggara dalam hal ini adalah pemerintah. Pelayanan yang efektif dan berkualitas mengedepankan penyederhanaan proses mekanisme. Penggunaan teknologi informasi dalam keberhasilan program menjadi mutlak sebagai infrastruktur penghubung antara penyedia layanan kesehatan dan penyedia jaminan kesehatan.

D. Sosialisasi Program Jaminan Kesehatan

Masih terdapat beberapa masyarakat yang belum menyadari tentang pentingnya jaminan kesehatan sebagai bagian dari perlindungan sosial. Sehingga masih terdapat masyarakat DIY yang belum memiliki jaminan kesehatan. Selain itu, masyarakat yang berminat mengikuti program JKN secara mandiri, masih belum sepenuhnya memahami sistem dan mekanisme JKN.

Peran pemda dalam rangka advokasi program jaminan kesehatan adalah melalui sosialisasi dan promosi kepada masyarakat. Diharapkan universal coverage jaminan kesehatan segera terwujud di DIY.

4 Daftar Pustaka

Ghufron Mukti, Ali dan Moertjahjo, Sistem Jaminan Kesehatan : Konsep Desentralisasi Terintegrasi, PT. Karya Husada Mukti, Yogyakarta

Peta Jalan Jaminan Kesehatan Nasional 2012-2019, Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat, 2012

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) DIY

www.bpjs-kesehatan.go.id

Aris Widiyanto, S.Sos

Jabatan Perencana Pertama

Kompleks Kepatihan, Danurejan, Yogyakarta
(0274)589583, (0274)557418
(0274)562811
(0274)586712
http://bappeda.jogjaprov.go.id
bappeda@jogjaprov.go.id

Kontak Kami

Silahkan Kirim Tanggapan Anda Mengenai Website Ini Atau Sistem Kami Saat Ini. Tanggapan Anda Sangat Membantu Untuk Meningkatkan Pelayanan Kami Kepada Masyarakat.Apabila terdapat kendala dalam menemukan informasi yang dicari dapat mengunjungi halaman FAQ