STRATEGI PENURUNAN KEMISKINAN TERPADU DI DIY
Abstrak
Permasalahan kemiskinan di DIY merupakan persoalan yang unik, kompleks dan memerlukan solusi yang terpadu. Kompleksitas yang tinggi dalam upaya penanggulangan kemiskinan dikarenakan oleh banyaknya elemen yang terkait. Penanggulangan kemiskinan menyangkut lintas sektor, lintas wilayah, dan adanya keterlibatan berbagai-bagai pihak. Sehingga penanggulangan kemiskinan melalui strategi penurunan kemiskinanan secara terpadu adalah sebuah keniscayaan. Terpadu diartikan sebagai upaya penanganan kemiskinan haruslah integral, serasi, terstruktur, harmonis dan selaras meliputi berbagai pendekatan, fokus, terencana, holistik dan berkelanjutan serta memungkinkan adanya terobosan-terobosan baru. Oleh karenanya harus ada upaya yang simultan dengan strategi diantara berbagai sector, wilayah, dan pihak-pihak terkait termasuk penentuan stressing setiap tahunnya, penyempurnaan kelembagaan yang secara khusus menangani. Atas dasar pertimbangan lingkungan strategis yang ada dan analisis yang dilakukan direkomendasikan untuk Tahun 2016 mengutamakan Strategi Peningkatan kualitas kebijakan/sistem perekonoimian daerah dengan Program Pengembangan restrukturisasi kebijakan ekonomi Daerah dan Pengembangan restrukturisasi lembaga pronangkis (Pembentukan Unit Pronangkis).
Kata Kunci : Kemiskinan Terpadu
1 Pendahuluan
Permasalahan kemiskinan di DIY menjadi hangat dan sangat menarik untuk dibicarakan. Segala daya dan upaya/strategi yang diwujudkan program penanggulangan kemiskinan telah dilakukan, namun tingkat penurunan kemiskinan masih bergerak lambat. Angka penurunan dalam waktu dasawarsa ini kurang lebih 0.4 % per tahun. Bahkan banyak pihak yang mempertanyaan kondisi anomali yang terjadi ini. Mengapa anomali, dikarenakan hampir semua indikator utama pembangunan DIY seperti Angka Harapan Hidup (AHH), Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indek Kesejahteraan Rakayat berada pada rangking atas di antara seluruh provinsi se-Indonesia, akan tetapi posisi kemiskinan berada pada papan rangking bawah. Mengapa kondisinya demikian ? Belum ada jawaban yang memuaskan. Lebih lanjut, justru memberikan kesimpulan kepada kita bahwa tidak bisa kita pungkiri, permasalahan kemiskinan adalah persoalan yang kompleks dan memerlukan solusi yang terpadu.
Kompleksitas yang tinggi dalam upaya penanggulangan kemiskinan dikarenakan oleh banyaknya elemen yang terkait. Penanggulangan kemiskinan itu lintas sektor, lintas wilayah, dan adanya keterlibatan berbagai-bagai pihak. Sehingga penanggulangan kemiskinan melalui strategi penurunan kemiskinanan secara terpadu adalah sebuah keniscayaan. Secara etimologis, kata terpadu meliputi upaya penanganan permasalahan secara integral, serasi, terstruktur, harmonis dan selaras. Strategi penurunan kemiskinan terpadu di DIY diartikan sebagai upaya penanganan kemiskinan haruslah integral, serasi, terstruktur, harmonis dan selaras meliputi berbagai pendekatan, fokus, terencana, holistik dan berkelanjutan serta adanya terobosan-terobosan baru.
Terkait dengan hal di atas permasalahan kemiskinan di DIY sebetulnya telah menjadi perhatian stakeholders di DIY, pemerintah pusat dan bahkan mungkin akan menjadi perhatian dunia khususnya para pemerhati masalah pengembangan perkonomiaan untuk menjadikan kemiskinan sebagai fokus kajian. Salah satu pernyataan yang menarik berasal dari Pande Made Kartanegara selaku peneliti dari Pusat Studi Kebijakan dan Kependudukan (PSKK) UGM. Dalam kesempatan Seminar Kependudukan beliau mengatakan “DIY dengan kondisi anomali kemiskinan DIY dan indikator pembangunan lainnya itu, DIY justru bisa menjadi model profil provinsi yang memang istimewa”. Terkait dengan hal tersebut Bapak Gubernur DIY memberi ruang kepada pihak-pihak manapun untuk mengkaji dan memberi usulan solusi bahkan akan mempertimbangkan terhadap konsep-konsep strategi program penanggulangan kemiskinan (pronangkis) yang bersifat out of the box.
Permasalahan terkait dengan penurunan kemiskinan adalah sebagai berikut,: data rumah tangga miskin, terlampau banyak program dan kegiatan, kurangnya sinergi dalam perencanaan dan implementasi program/kegiatan, eksekusi program yang terlambat, pendampingan program yang belum optimal, perlunya pengembangan struktur perekonomian di DIY dan permasalahan Kapasiats Kelembagaan Pronangkis. Rekomendasi dari tulisan ini selain perlunya memilih strategi juga perlunya menentukan fokus maupun stressing program dan gerakan khususnya untuk perencanaan strategi kemiskinan tahun 2016 dan selanjutnya.
2 Kondisi Kemiskinan DIY
Dari sisi jumlah maupun persentase, kemiskinan di DIY dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan. Pada Maret 2009, jumlah penduduk miskin di DIY mencapai 585,78 ribu jiwa atau 17,23 persen. Selama kurun waktu lima tahun kemudian (2014), jumlah penduduk miskin di DIY turun menjadi 544,87 ribu jiwa atau 15,00 persen (lihat Gambar 1 dan Gambar 2). Selama kurun waktu lima tahun tersebut, angka kemiskinan hanya turun sebesar 2,23 persen atau 0,446 persen per tahun. Penurunan ini terbilang rendah.
Gambar 1 Grafik Penduduk Miskin DIY (Kiri) dan Grafik Persentase Penduduk Miskin DIY (Kanan)
Meskipun dari tahun ke tahun jumlah penduduk miskin dan tingkat kemiskinan di DIY selalu turun, namun sampai saat ini tingkat kemiskinannya masih lebih tinggi dari nasional. Pada tahun 2013 tingkat kemiskinan DIY sebesar 15,43 persen, lebih tinggi daripada tingkat kemiskinan nasional sebesar 11,37 persen. Selama empat tahun terakhir (2010 – 2013), penuruan tingkat kemiskinan di DIY melambat. Sementara itu penurunan tingkat kemiskinan secara nasional berlangsung relatif lebih cepat daripada DIY (lihat Gambar 3). Kondisi ini harus dicermati untuk mencari penyebab rendahnya penurunan tingkat kemiskinan di DIY. Di sisi lain, berbagai program pengentasan kemiskinan telah banyak digulirkan.
Indeks kedalaman kemiskinan (P1) selama tujuh tahun hanya turun sebesar 1,61; yaitu dari 3,8 pada Maret 2007 menjadi 2,19 pada Maret 2014. Indeks keparahan kemiskinan (P2) pada periode yang sama turun sebesar 0,64; yaitu dari 1,12 pada Maret 2007 menjadi 0,48 pada Maret 20014 (lihat Gambar 4)[1]. Meskipun terdapat penurunan, namun apabila dibandingkan dengan September 2013, indeks kedalaman kemiskinan dan indeks keparahan kemiskinan pada bulan Maret 2014 mengalami sedikit kenaikan. Kenaikan ini tentunya mengkhawatirkan karena kemiskinan bisa cenderung semakin parah dan dalam meskipun secara nominal jumlahnya mengalami penurunan.
[1]Indeks kedalaman kemiskinan (P1) merupakan kesenjangan/jarak antara rata-rata standar hidup penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan terhadap garis kemiskinan. Indeks keparahan kemiskinan (P2) adalah kesenjangan/sebaran pengeluaran di antara penduduk miskin, dan dapat juga digunakan untuk mengetahui intensitas kemiskinan.
Gambar 2 Perbandingan Tingkat Kemiskinan Nasional dengan DIY
Gambar 3 Trend Indeks Kedalaman dan Indeks Keparahan Kemiskinan di DIY
Lambatnya penurunan kemiskinan di DIY selain dibayang-bayangi kemungkinan meningkatnya indeks keparahan dan kedalaman kemiskinan, juga diiringi dengan kecenderungan ketimpangan yang semakin tinggi. Pada tahun 2007, koefisien Gini baru mencapai 0,38, namun pada tahun 2014 sudah mencapai 0,42. Meskipun koefisien Gini tahun 2014 ini lebih rendah daripada tahun 2012 dan 2013, namun dilihat dari kecederungannya (trend logarithmic) semakin meningkat (lihat Gambar diatas).
Gambar 4 Trend Gini Ratio di DIY
Gambar diatas memperlihatkan perkembangan pertumbuhan ekonomi dengan tingkat kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi DIY pada periode pengamatan (2008-2013) semakin meningkat dan tingkat kemiskinan semakin menurun. Dari hasil analisis korelasi, ada hubungan negatif antara pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemiskinan di DIY, namun hubungannya tidak kuat karena angka korelasinya hanya sebesar -0,59. Elastisitas rata-rata pertumbuhan ekonomi dengan tingkat kemiskinan di DIY adalah inelastis (-0,62). Tingkat kemiskinan di DIY kurang peka terhadap pertumbuhan ekonomi. Setiap kenaikan satu persen pertumbuhan ekonomi di DIY akan menurunkan kemiskinan sebesar 0,62 persen. Hasil analisis korelasi dan elastisitas memiliki kecocokan. Berdasarkan analisis gambar, korelasi, dan elastisitas dapat disimpulkan bahwa ada permasalahan dengan kualitas pertumbuhan ekonomi di DIY.
Gambar 5 Pertumbuhan Ekonomi dan Tingkat Kemiskinan di DIY
Berdasarkan pertumbuhan ekonomi sektoral, terdapat korelasi negatif antara pertumbuhan sektoral dengan tingkat kemiskinan, kecuali sektor jasa-jasa. Pertumbuhan sektor jasa-jasa memiliki korelasi positif dengan tingkat kemiskinan. Angka korelasi pertumbuhan sektoral sangat rendah. Hanya sektor listrik, gas, dan air bersih dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran saja yang memiliki angka korelasi di atas 0,5 (lihat Tabel 3.1). Hasil ini menguatkan bahwa pertumbuhan ekonomi sektoral belum mampu mendorong penurunan tingkat kemiskinan secara signifikan.
Tabel 1 Pertumbuhan Ekonomi Sektoral dan Korelasinya dengan Tingkat Kemiskinan di DIY
3 Evaluasi Strategi Pengentasan Kemiskinan di DIY
Untuk merencanakan sebuah strategi sangat diperlukan adanya evaluasi terhadap apa yang sudah/sedang dilakukan dan ternyata banyak permasalahan yang ditemui. Efektivitas program pengentasan kemiskinan dipengaruhi oleh kesesuaian program itu sendiri dan faktor eksternal. Faktor eksternal berupa kebijakan ekonomi pemerintah dan situasi makro ekonomi. Beberapa permasalahan yang sering muncul, antara lain yaitu: Cara memotret RTS, data rumah tangga miskin, kurang fokusnya penanganan kemiskinan, kurangnya sinergi dalam perencanaan dan implementasi program/kegiatan, eksekusi program yang terlambat, pendampingan program yang belum optimal, Perlunya pengembangan Struktur Perekonomian di DIY dan Kapasitas Kelembangaan Pronangkis.
3.1 Cara memotret RTS
Di DIY ini dan juga pada strategi/program pronangkis nasional, apabila dicermati program-program seperti KUBE, UEP dan (termasuk BKK) sebetulnya tidak ada perbedaan secara substantif, pendekatannya adalah sama yaitu pendekatan kelompok dan pemberdayaan begitu pula sama-sama ada pendampingannya dan kenyataan di lapangan juga ditemukan sama-sama terdapat penyimpangan. Lalu, mengapa program-program tersebut tidak secara signifikan menurunkan angka kemiskinan di DIY khususnya ? (perlu di ingat di lain provinsi ada yang berhasil). Di mana letak kelemahan program-program tersebut ? Kelemahannya antara lain adalah cara memotret RTS (Rumah Tangga Sasaran). Selama ini kalau kita cermati yang dipotret adalah karakteristik fisik RTS bukanlah karakter pribadi RTS itu sendiri. Nah, apabila bicara karakter tentu tidak lepas dari persoalan mental atau mindset dari masyarakat kita yang secara umum belum berdaya dalam usaha atau belum banyak yang berjiwa eterpreneurship baik yang masuk kategori rakyat tidak miskin apalagi yang yang berstatus miskin bahkan sangat miskin. Memang demikian adanya, semakin miskin seseorang juga terdapat kelemahan dalam SDMnya dan kurang bisa mengakses berbagai peluang dan informasi, istilahnya yang kaya semakin kaya yang miskin semakin miskin. Oleh karena itu tentunya kita utamakan pendekatan karakter lebih diutamakan di samping tetap mengupayakan pendekatan pemotrettan karakteristik RTS, demikian pula dalam pendampingan juga ada beberapa sasaran yaitu kepada RTS yang telah bisa usaha, potensi untuk bisa berusaha dan kepada yang tidak bisa berusaha.
3.2 Data Rumah Tangga Miskin
Validitas data rumah tangga miskin maupun penduduk miskin antar instansi sering tidak sama. Diperlukan sinkronisasi data antar lembaga yang menangani kemiskinan. Perbedaan data bisa diakibatkan oleh perbedaan kriteria kemiskinan. Sekurang-kurangnya ada tiga lembaga dalam negeri yang telah mengeluarkan kriteria kemiskinan (Bappenas, Komite Penanggulangan Kemiskinan, dan BPS) dan bank dunia. Masing-masing program penanggulangan kemiskinan sering menggunakan data yang berbeda-beda. Data sasaran penerima raskin berbeda dengan jamkesmas/jamkesda, Bantuan Langsung Tunai, Kelompok Usaha Bersama (KUBE), Bantuan Keuangan Khusus (BKK), dan lainnya. Penggunaan data yang berbeda-beda untuk program yang berbeda ini menyebabkan penanggulangan kemiskinan kurang terfokus. Efektivitas program-program penanggulangan kemiskinan jadi terkurangi.
3.3 Kurang Fokusnya Penanganan Kemiskinan
Selama ini penanganan kemiskinan dirasa kurang fokus karena tidak berada pada unit/lembaga khusus yang mempunyai tupoksi penanganan kemiskinan. Memang sudah ada Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) di tingkat pusat dan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemsikinan Daerah (TKPKD) untuk daerah namun berhubung masih berupa tim dan keberadaannyapun menempel/berada di SKPD Bappeda DIY sehingga terkesan pengelolaan kemiskinan terabaikan.
3.4 Terlampau Banyak Program dan Kegiatan
Selama ini terlampau banyak program dan kegiatan penanggulangan kemiskinan. Sebagai contoh program yang terkait dengan BKK di Provinsi DIY sebanyak 371 program yang terdata di Bappeda DIY yang dikelola oleh sekurangnya tujuh SKPD. Program-program tersebut ada yang sifatnya langsung untuk menanggulangi kemiskinan dan ada pula yang tidak langsung. Dengan anggaran terbatas, maka anggaran yang ada akan dibagi ke dalam 371 program tersebut. Akibatnya masing-masing program akan mendapat dana yang tidak terlampau besar. Apabila jumlah program dikurangi menyesuaikan dengan tujuan yang akan dicapai, maka masing-masing program akan memperoleh dana yang mencukupi dan signifikan dalam menanggulangi kemiskinan. Dampak dari terlampau banyaknya program berakibat pula pada bantuan yang diterima oleh RTS menjadi kecil.
3.5 Kurang Sinergi Dalam Perencanaan dan Implementasi Program.
Upaya pengurangan jumlah program dan kegiatan sebagaimana disarankan sebelumnya dapat tercapai apabila adanya sinergi dalam perencanaan program oleh masing-masing kabupaten dan kota serta antar SKPD.
3.6 Eksekusi Program Terlambat
Dari hasil rakor ditemukan bahwa banyak eksekusi program/kegiatan yang terlambat. Hingga akhir bulan Oktober 2014, dana BKK dari Pemda DIY masih banyak yang belum sampai ke RTS. Keterlambatan pencairan bantuan ini dapat berakibat tidak efektifnya program dan upaya menekan angka kemiskinan menjadi kurang signifikan.
3.7 Pendampingan Program Yang Belum Optimal
Keberhasilan program-program penanggulangan kemiskinan dan upaya-upaya pemberdayaan usaha mikro banyak dipengaruhi oleh pendampingan yang efektif. Namun demikian berdasarkan hasil pengamatan, masih dijumpai pendampingan yang tidak berjalan. Seperti program KUBE, masih dijumpai beberapa kelompok yang pendampingnya tidak pernah datang. Demikian pula untuk program-program yang lain. Efektivitas pendampingan dipengaruhi oleh kapabilitas pendamping. Kapabilitas pendamping terdiri dari faktor semangat dan kompetensi. Namun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa insentif juga menjadi salah satu pendorong semangat para pendamping.
3.8 Pendekatan Penyusunan Strategi Kemiskinan Belum Secara Komprehensif
Selama ini pendekatan penyusunan strategi kemiskinan adalah lebih ditekankan pendekatan penurunan angka kemiskinan dan pendekatan peningkatan daya beli RTS, belum menyentuh dengan pendekatan penyebab kemiskinan itu sendiri. Menurut pendekatan penyebab kemiskinan ada 3 yaitu kemiskinan secara alami, kultural dan struktural. Memang untuk secara alami dan kultural secara tidak langsung dengan beberapa pendekatan yang ada sudah tertangani namun bagimana dengan pendekatan secara struktural ? Kiranya belum ada upaya nyata, baik kebijakan apalagi implementasi. Terkait dengan pendekatan penyebab kemiskinan secara struktural penulis ingin memperkuat pandapat F. Fildzah Izzati yang menyoroti bagaimana pendapat David Macarof dalam implementasi solusi dari pendekatan kemiskinan struktural. Kemiskinan struktural menjadi sorotan utama Macarov. Terkait hal ini, Macarov mengidentifikasi bahwa anak-anak, orang lanjut usia, mereka yang tidak bekerja/pengangguran, para pekerja yang miskin, menjadi orang-orang yang paling dimiskinkan secara struktural. Penyebab kemiskinan secara struktural yakni sistem eknonomi yang berbasis pada sistem ekonomi pasar dijadikan sorotan atau fokus utama Macarov. Hal ini banyak menjadi bagian terbesar tulisannya, terutama mengenai globalisasi sebagai konsekuensi sistem ekonomi neoliberal yang hampir tidak bisa lagi dihindari oleh sebagian besar negara di dunia. Dijadikannya pasar sebagai mesin ekonomi membuat semua harus dilakukan berdasarkan pada ukuran-ukuran itu.
Konsekuensi tak terpisahkan dari globalisasi neoliberal diantaranya ialah privatisasi. Privatisasi merupakan ciri yang tak dapat dipisahkan dari neoliberalisme yang berkelindan dengan globalisasi. Privatisasi yang sering juga disebut dengan penjualan aset negara merupakan sebuah proses pengalihan hak kepemilikan dari kepemilikan publik (negara) ke pemilikan pribadi/perusahaan swasta. Dalam hal ini, pada tulisan Revrisond Baswir yang berjudul ‘Privatisasi BUMN: Menggugat Model Ekonomi Neoliberalisme IMF‘, dapat dilihat bahwa privatisasi ditujukan untuk menata ulang struktur perekonomian suatu negara demi kelancaran agenda-agenda neoliberal secara internasional. Macarov mengemukakan bahwa negara biasanya melakukan privatisasi dengan berbagai alasan. Macarov mengidentifikasi bahwa setidaknya terdapat delapan alasan yang secara umum digunakan berbagai negara dalam melakukan privatisasi. Dalam hal ini, fleksibilitas pasar tenaga kerja dan pemangkasan pengeluaran atas nama efisiensi menjadi dalih yang paling sering digunakan negara dalam melancarkan privatisasi. Selain itu, kurangnya kepercayaan kepada pemerintah juga sering menjadi alasan dibalik privatisasi. Rumitnya prosedur birokrasi pun menjadi alasan lain yang sering digunakan demi membenarkan privatisasi. Hanya saja, yang dihasilkan dari privatisasi dengan berbagai alasan tersebut tetaplah sama, yakni terjadinya peningkatan jumlah pekerja kontrak dan outsourcing, inefisiensi, dan bahkan korupsi. Menurut Macarov, privatisasi selalu berjalan beriringan dengan meluasnya korupsi di berbagai negara, khususnya pada negara-negara yang dikatergorikan sebagai negara ‘transisional’ yang mengalihkan pelayanan publik menjadi milik privat. Maka dari itu, globalisasi, menurut Macarov, menghasilkan kurangnya akuntabilitas, rendahnya tingkat upah/penurunan upah, korupsi dan meningkatkan ketidaksetaraan. Selain terjadi pada korporasi/perusahaan-perusahaan swasta, privatisasi juga terjadi pada sektor-sektor yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, dan hal-hal lain yang menjadi komponen penting dari kesejahteraan rakyat seperti perumahan, dan sebagainya Dalam bukunya Macarov memang lebih banyak menjelaskan apa yang terjadi di negara-negara Eropa dan Amerika. Namun, praktik privatisasi dengan dalih efisiensi ini juga banyak terjadi di Indonesia. Privatisasi Perusahaan Listrik Negara (PLN) salah satunya. Listrik yang jelas menyangkut kepentingan hajat hidup orang banyak pun (sektor publik) diprivatisasi atas nama efisiensi. Hasilnya, sistem outsourcing kini menjadi sistem kerja utama di PLN saat ini. Selain listrik, sektor publik lain seperti pendidikan dan kesehatan pun diprivatisasi. Di Indonesia, privatisasi pendidikan tinggi ditandai dengan kemunculan Undang-Undang Badan Hukum Milik Negara (UU BHMN) pada awal tahun 2000. Skema privatisasi pendidikan tinggi ini kemudian terus berlanjut dengan dikeluarkannya Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang pada tanggal 17 Desember 2008. UU BHP merupakan skenario World Bank/Bank Dunia yang tercantum dengan jelas dalam dokumen Indonesia Managing Higher Education for Relevance and Efficiency (IMHERE). 12 Meskipun UU BHP dibatalkan secara hukum oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 30 Maret 2010, privatisasi pendidikan tinggi pun terus berlanjut dan terus menghambat akses rakyat miskin terhadap pendidikan tinggi.
Pada tahun 2011, DPR mengeluarkan Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi yang memiliki isi serupa dengan UU BHP. Bedanya, saat itu privatisasi pendidikan dibalut dalam nama lain yang lebih soft, yakni “otonomi”. RUU PT ini pun kemudian disahkan menjadi Undang-Undang pada tanggal 13 Juli 2012. Gerakan sosial yang anti dengan privatisasi pendidikan pun kemudian kembali melakukan judicial review terhadap UU PT tersebut. Sayangnya, kali ini MK tidak mengabulkan tuntutan pembatalan UU PT dan dengan demikian melegalkan privatisasi pendidikan tinggi terhitung sejak 29 April 2014.
Macarov juga berpendapat globalisasi neoliberal menjadi penyebab utama dari kemiskinan dan kemiskinan memang diciptakan secara struktural. Namun, menurut F. Izzati, secara umum solusi yang ditawarkan Macarov (untuk mengatasi kemiskinan dan berbagai problem yang dihasilkan globalisasi dan privatisasi tersebut) dalam bukunya belum mencukupi. Solusi yang diungkapkan Macarov, menurut F. Izzati, cenderung bersifat reformis ketimbang revolusioner, seperti subsidi, kemudahan kredit bagi usaha mikro, dan peningkatan pajak bagi orang kaya. Solusi-solusi itu, menurutnya, sangatlah tidak mencukupi, jika kita memang menginginkan terwujudnya tatanan masyarakat yang setara, dan terbebas dari pemiskinan dan kemiskinan itu sendiri. Dalam bukunya, Macarov terlihat tidak mengajukan sebuah solusi yang menawarkan perubahan secara struktural. F. Fildzah Izzati sendiri berpendapat bahwa karena kemiskinan diciptakan oleh globalisasi neoliberal yang sangat bersifat struktural, maka solusi untuk mengatasi permasalahan kemiskinan pun perlu diletakkan pada dimensi yang juga bersifat struktural. Perubahan mode ekonomi kapitalisme dalam wajah globalisasi neoliberal seperti yang berlangsung saat ini menjadi mode ekonomi yang sosialis, menurut F. Fildzah Izzati, harus terus diusahakan. Selain itu, penguasaan aset-aset publik secara privat hanya dapat dihentikan melalui struktur kekuasaan politik yang diisi oleh mereka yang tidak bersetuju terhadap kapitalisme. Dalam perjalanannya, tentu saja semua usaha-usaha untuk mengubah struktur ekonomi politik kapitalisme yang memiskinkan sebagian besar rakyat ini tidak akan berlangsung dengan “aman-aman saja”. Akan tetapi, kapitalisme dalam wajah globalisasi neoliberal ini akan terus bertahan selama tidak ada upaya untuk mengubahnya dan dengan demikian, maka kemiskinan pun juga tidak akan pernah dapat diakhiri.
Dari uraian di atas penulis sepakat dengan tanggapan F. Izzati terhadap pandangan David Macarof. Kondisi demikan tak terkecuali DIY, DIY tentu terkena dampak dari kondisi struktur perekonomian arus globalisasi, munculnya alfa mark, indo mark mulai merambah ke desa-desa terpencil yang makin mencaplok pasar tradisional. Apa artinya selama ini kita mengupayakan bantuan (BKK) dan pemberdayaan kalau arus/kekuatan pasar sangat besar, mereka (RTS) sangat memerlukan pertolongan. Hal tersebut Pemda harus penetrasi untuk menyelamatkan terutama masyarakat miskin sebagai perwujudan idea Hamemayu Hayuning Bawono. Artinya apa? DIY harus berani berbeda dalam penataan struktur ekonominya, DIY perlu perubahan! Namun penulis berpendapat kita tidak perlu perubahan secara revolusioner sebagaimana pendapat F. Izzati. Kita tetap bagaimana menjalankan demokrasi ekonomi kita berdasarkan pasal 33 UUD 1945 dengan murni dan konskewen. Persoalannnya adalah tidak demikian, kita belum murni dan konskewen baik di pusat maupun daerah, tidak terkecuali DIY. Penulis mengusulkan ada langkah-langkah kongkrit agar DIY bisa mewujudkan struktur ekonomi daerah yang betul-betul berpihak kepada rakyat. Peluang perubahan tersebut justeru bisa dengan pintu UU keistimewaan DIY dan adanya Perda No. 2 Tahun 2012 tentang Tata Nilai Budaya Yogyakarta.
4 Strategi Pengentasan Kemiskinan di DIY 2016
4.1 Analisa Lingkungan Strategis
A. Faktor Internal
Tabel 2 Faktor Internal
B. Faktor Eksternal
Tabel 3 Faktor Eksternal
4.2 Pendekatan Dalam Penyusunan Strategi Penanggulangan Kemiskinan
Di dalam penangulangan kemiskinan ada tiga pendekatan yang dapat dilakukan. Pendekatan pertama adalah pengurangan angka kemiskinan dan pendekatan kedua adalah peningkatan daya beli masyarakat sedang pendekatan ketiga adalah pendekatan Peningkatan Pengembangan Struktur Ekonomi. Pendekatan pertama berorientasi pada pengurangan angka kemiskinan sehingga fokus pada pemenuhan indikator-indikator kemiskinan yang telah ada. Pendekatan kedua berorientasi pada peningkatan daya beli RTS sehingga fokus pada peningkatan kapasitas RTS agar memampukan dirinya meningkat perekonomiannya (daya belinya). Pendekatan ketiga berorientasi pada adanya upaya penyempurnaan struktur ekonomi yang lebih berpihak kepada RTS.
Apabila pilihan pendekatan strategi penanggulangan kemiskinan adalah penurunan angka kemiskinan, maka strategi diarahkan untuk pemenuhan indikator-indikator kemiskinan.
Strategi penanggulangan kemiskinan dengan demikian terdiri dari pemenuhan kebutuhan dasar RTS yang terdiri dari pangan, papan, dan sandang dan terintegrasi antar program pada satu kelompok sasaran, sehingga satu kelompok sasaran mendapatkan bantuan program untuk penanganan ke-14 indikator kemiskinan. Apabila penanggulangan kemiskinan menggunakan pendekatan peningkatan daya beli RTS, maka strategi pengentasan kemiskinan difokuskan pada peningkatan kemampuan RTS untuk memampukan dirinya sendiri agar keluar dari jerat kemiskinan. Strategi penanggulangan kemiskinan terdiri dari 1. peningkatan kapabilitas SDM RTS agar memiliki semangat, pengetahuan, dan ketrampilan untuk berusaha mementaskan dirinya dari jerat kemiskinan ,2 orientasi kebijakan pembangunan pada kualitas pertumbuhan.
Apabila penanggulangan kemiskinan menggunakan pendekatan Peningkatan Pengembangan Struktur Ekonomi, maka strategi pengentasan kemiskinan difokuskan pada adanya perubahan dengan menambah/menyempurnakan sistem perekonomian daerah. Strategi penanggulangan kemiskinan terdiri dari, :
- Upaya diversifikasi pengelolaan keuangan
- Peningkatan kualitas Sistem Perekonomian Daerah
5 Jabaran Strategi Penanggulangan Kemiskinan di DIY
Berdasarkan analisa lingkungan strategis dan pilihan pendekatan yang dipakai, maka strategi penanggulangan kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta adalah, :
5.1 Strategi Peningkatan Kualitas Pertumbuhan Ekonomi.
Ada beberapa program yang dapat dirumuskan terkait dengan strategi peningkatan kualitas pertumbuhan ekonomi, yaitu: peningkatan produktivitas sektor pertanian dan perlindungan lahan; pengendalian sektor perdagangan, hotel, dan restoran agar lebih berpihak pada usaha penanggulangan kemiskinan; pengendalian harga bahan pokok; perluasan jaringan pelayanan dalam penyediaan kebutuhan pokok dengan melibatkan swasta dan dunia usaha; pembangunan berbasis pedesaan
5.2 Strategi Peningkatan Sinergi Antar Lembaga Pemerintah, Swasta, Dan PT
Ada beberapa program yang dapat dirumuskan, yaitu: Peningkatan sector pertanian perkebunan dan kehutanan serta perlindungan lahan, penciptaan jaringan kerjasama dan kemitraan usaha yang didukung oleh organisasi masyarakat setempat, pemerintah daerah, swasta dan perguruan tinggi, penyediaan kemudahan akses terhadap sumberdaya produktif yang difasilitasi oleh pemerintah, sektor swasta dan organisasi kemasyarakatan, penyediaan informasi dinamis rumah tangga sasaran penanggulangan kemiskinan oleh pemerintah daerah dibantu perguruan tinggi, optimalisasi dan sinergi dana CSR oleh perusahaan swasta, BUMN dan BUMD untuk program-program dan kegiatan-kegiatan penanggulangan kemiskinan, KKN tematik penanggulangan kemiskinan yang terintegrasi dan berkelanjutan oleh semua perguruan tinggi di DIY yang menyelenggarakan program KKN.
5.3 Strategi Peningkatan Kapabilitas Penduduk Miskin Memampukan Dirinya Sendiri.
Ada beberapa program yang dapat dirumuskan, : Peningkatan semangat wirausaha, Peningkatan partisipasi ekonomi perempuan, Pengembangan KBKS, Pemberdayaan fakir miskin dan penyandang masalah kesejahteraan, Pembinaan para penyandang disabilitas dan trauma., Pembinaaneks. Penyandang penyakit social, Peningkatan partisipasi masyarakat dalam membangun desa, Peningkatan kapasitas usaha masyarakat miskin melalui peningkatan skill, modal, teknologi, informasi dan legal, Pendampingan usaha kebiasaan hidup produktif dan jaringan melalui BK
5.4 Strategi Peningkatan Akses Penduduk Miskin Pada Sektor-Sektor Pendidikan, Kesehatan, Keuangan, Dan Infrastruktur.
Ada beberapa program yang dapat dirumuskan, : Penyediaan dan perbaikan layanan dasar di bidang pendidikan dan kesehatan, Wajib belajar pendidikan dasar Sembilan tahun, Peningkatan akses pendidikan dasar, menengah, dan tinggi bagi penduduk miskin, Peningkatan gizi dan kesehatan keluarga, Pencegahan dan penanggulangan penyakit, Peningkatan akses layanan keuangan, jaringan produksi dan pasar, Pemberdayaan lembaga ekonomi dan keuangan mikro, diversifikasi layanan keuangan mikro (konvensional dan syariah), penyediaan dan perbaikan perumahan dan lingkungan perumahan termasuk air bersih, pembangunan kawasan pedesaan, pengembangan, pengelolaan, dan konservasi sungai, danau, dan sumberdaya air lainnya, peningkatan kesadaran dan penanggulangan bencana alam.
5.5 Strategi Peningkatan Kualitas Kebijakan/Sistem Perekonoimian Daerah
Ada beberapa program yang dapat dirumuskan, yaitu : Pengembangan restrukturisasi kebijakan ekonomi Daerah, Penyempurnaan dan Pengembangan Tata Nilai Budaya, Program Bahari Raja [Balai Usaha Mandiri Rakyat Yogyakarta]
5.6 Strategi Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Pronangkis
Ada beberapa program yang dapat dirumuskan, yaitu : Pengembangan restrukturisasi lembaga pronangkis dan Program Pembentukan Unit/UPTD/Lembaga Pronangkis.
6 Usulan Skala Prioritas untuk Perencanaan Tahun 2016
Memilih Strategi Peningkatan kualitas kebijakan/sistem perekonoimian daerah dengan Program Pengembangan restrukturisasi kebijakan ekonomi Daerah dan Pengembangan restrukturisasi lembaga pronangkis (Pembentukan Unit Pronangkis)
7 Penutup/Kesimpulan
Permasalahan kemiskinan di DIY disebabkan oleh berbagai faktor namun belum ada langkah secara terpadu dan belum adanya fokus penanganan dari sebagian strategi pronagkis yang secara signifikan berpengaruh terhadapnya penurunan kemiskinan. Untuk itu penulis merekomendasikan agar strategi penanganan kemiskinan dilaksanakan secara terpadu [ dengan adanya Unit/UPTD/Lembaga Pronangkis tersendiri] namun tetap ada stresing pada setiap tahunnya. Untuk tahun 2016 stresingnya adalah Program Pengembangan restrukturisasi kebijakan ekonomi Daerah dan Program Pengembangan restrukturisasi lembaga pronangkis.
8 Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik (BPS) dan Departemen Sosial (Depsos), 2002. Diunduh melalui http://lib.uin-malang.ac.id/thesis/chapter-ii/04550060
F.Fildzah Izzati, Globalisasi Neoliberal, Kemiskinan, dan solusinya, Indo Progress, 21 Mei 2014, Left Book Review Edisi XXII/2014,
Remi S.S. dan P. Tjipto Herijanto.2002. Kemiskinan dan Ketidakmerataan di Indonesia. PT. Rineka Cipta. Jakarta
Soegijoko, Budi Tjahjati S. Dan BS Kusbiantoro (ed). 1997. Bunga Rampai Perencanaan Pembangunan di Indonesia. Bandung,